Kamis, 09 Juni 2011

ICT in Education


DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
 TERHADAP PERKEMBANGAN TEORI PSIKOLOGI PENDIDIKAN
PADA ABAD KE 21


A.      LATAR BELAKANG
Pada mulanya, teori pendidikan lebih banyak dipengaruhi oleh teori Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Akan tetapi teori-teori tersebut dikembangkan ketika belajar tidak dipengaruhi oleh teknologi. Kini teknologi telah menjadi bagian kehidupan manusia, seperti informasi dan komunikasi, industri, kebutuhan rumah tangga, terlebih lagi dalam lingkungan pendidikan. Jika pada zaman dahulu perkembangan informasi sedemikian lambatnya, sekarang ini semuanya telah berubah. Perkembangan pengetahuan yang dahulu diukur dalam hitungan dekade, sekarang ini dalam hitungan tahun dan bulan.
Lima belas tahun yang lalu belum ada ponsel dan PDA. Komputer dan internet masih merupakan barang mahal yang dipergunakan terbatas di kalangan riset (Mardika, 2009). Saat ini ponsel, PDA, komputer, dan internet merupakan alat kerja setiap orang. Information and Communication Technology (ICT) berkembang pesat dan mengubah cara hidup manusia secara dramatis. Semakin banyak pekerjaan dilakukan secara ”online” memanfaatkan ICT. Ironisnya dunia pendidikan justru paling lambat dalam mengadopsi ICT. Lembaga Pendidikan saat ini tidak terlalu cepat mengalami perubahan dibandingkan perusahaan-perusahaan dan industri. Guru berdiri di depan kelas dan murid duduk rapi di depannya. Yang berubah hanyalah hadirnya 1 laptop dengan proyektor LCD, itupun hanya sekedar sebagai pengganti papan tulis.
Dalam kurun waktu 1982-2000 berkembang development tools di bidang pendidikan online, M. P. Huguet (2005), menyebutkan hal tersebut antara lain:
1. Media Creation Tools - flash, graphics, powerpoint, screencasting, PDF, podcasting, videocasting
2. HTML Editors
3. Teaching and Learning Aplications – blogs, eportfolios, wikis
4. Development Tools – Exhibits – storyboarding, organizing content
Perkembangan yang demikian deras membuat seorang Bill Gates-pun mengakui tidak dapat memprediksikan seperti apa pengaruh kemajuan ICT pada cara hidup manusia dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Dunia hanya di ”transfer” dari era industri ke era informasi, bukan di “transformasi” untuk menyesuaikan diri dengan era informasi. Pendidikan dan dunia kerja di abad ke-21 mayoritas masih memakai teori, metode, sistem, dan teknologi abad ke- 20. Teori, metode, sistem pendidikan dan kerja di abad ke-21 sampai saat ini dalam proses berkembang, maka pendidikan dan dunia kerja di abad ke-21 seharusnya dapat juga segera menyesuaikan diri memakai teknologi abad ke-21. Untuk pengembangan tersebut, George Siemen (2005) seorang pakar pendidikan dari Universitas Manitoba Canada, menawarkan Konektivisme (Connectivism) sebagai suatu gagasan mengenai pendidikan di abad ke-21. Kondisi ketertinggalan dunia pendidikan di atas juga memprihatinkan Bill Gates sehingga menyatakan di depan para Gubernur di AS bahwa pendidikan menengah di Amerika telah tertinggal jaman, mereka gagal memberikan bekal yang diperlukan pada generasi muda Amerika untuk menghadapi tantangan kehidupan saat ini.
“America’s high schools are obsolete. By obsolete, I don’t just mean that they’re broken, flawed or underfunded, though a case could be made for everyone of those points. By obsolete, I mean our high schools – even when they’re working as designed – can not teach all our students what they need to know today.” (Bill Gates, 2005)
Untuk mengatasi hal tersebut, Teori Konektivisme menawarkan medel baru di abad ke 21 ini dalam sistem pendidikan untuk keluar dari ketertinggalan, tentunya bagi orang yang bijak, tanpa harus meninggalkan teori-teori pendidikan dan pengajaran yang telah ada, justru semestinya terus dikembangkan dan disempurnakan, seperti teori behaviorisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan lain-lain. Hal ini bisa saja dilakukan dengan cepat karena fasilitas teknologi yang ada memungkinkan untuk saling berhubungan (connecting) antar komponen pendidikan. Selain itu, sumber pengetahuan dan informasi yang ada di sekolah, kampus, pakar, dosen atau guru tidak mesti harus diakses langsung oleh peserta didik dalam satu ruangan bersama tetapi bisa dengan konferensi jarak jauh melalui komputer yang dilengkapi dengan program atau perangkat lunak yang canggih (interactive communication) bahkan melalui PDA dan handphone untuk berdiskusi. Selain itu peserta didik juga bisa langsung mengakses (connect) dengan materi-materi yang dibutuhkan di dunia maya (cyberspace). Di dunia maya terdapat kira kira 120 juta website dan di dalamnya terdapat kira kira 11 juta artikel ilmiah serta puluhan juta data dan informasi lain yang dapat diakses kapan saja di mana saja (Arif Abadi Surya, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, perlu di telaah dan dibahas tentang pemanfaatan teknologi dan penerapan teori konektivisme di dalam pendidikan indonesia. Teori konektivisme yang lahir dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjembatani (connecting) antar komponen dalam pendidikan (seperti: guru, dosen, lembaga/sekolah, peserta didik, dll) juga antara komponen pendidikan dengan tekonologi informasi dan komunikasi. Selain pembahasan ‘manfaat’ tentu ada juga dampak negatif dari penerapan teori konektivisme yang notabene bukan asli hasil karya anak negeri, tentu ada perbedaan dari segi adat, budaya, norma dan agama. Oleh karena itu, perlu juga persiapan untuk mengantisipasi dampak yang tidak diinginkan dari pemanfaatan teknologi tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan kendala-kendala pendidikan saat ini sekaligus solusi dan antisipasi yang dirangkum dari berbagai sumber.

B.  KETERBATASAN TEORI BEHAVIORISME, KOGNITIVISME,
      DAN KONSTRUKTIVISME

Berikut adalah rangkuman dari penjelasan Mergel (1998) dan Simon (2001) mengenai Behaviorisme, Kognitivisme dan Konstruktivisme.
1.    Objektivisme (serupa dengan behaviorisme)
Teori ini menyatakan bahwa realita adalah eksternal dan objektif, dan pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Teori ini juga menekankan pada perubahan prilaku atau pemahaman baru akan dapat diperoleh dengan pengulangan, sampai akhirnya prilaku tersebut dapat dilakukan secara otomatis (Mardika, 2009). Behaviorisme menekankan pada kajian mengenai prilaku yang dapat diukur dan dinilai secara kuantitatif. Teori ini berpandangan bahwa akal (mind) adalah kotak kosong yang siap menerima respon dari stimulus yang diberkan kepadanya, dan respon tersebut bisa dinilai secara kuantitatif, serta mengabaikan adanya kemungkinan terjadinya proses berfikir lain di dalam akal manusia. Beberapa tokoh behaviorisme yang terkenal adalah Pavlov (1849-1936), Thorndike (1874-1949), Watson (1878-1958), dan Skinner (1904-1990).

2.    Pragmatisme (serupa dengan kognitivisme)
Awal tahun 1920-an, orang mulai membatasi penggunaan Behaviorisme. Teori ini dipandang tidak dapat menjelaskan prilaku sosial (Mardika, 2009). Sebagai contoh, anak-anak tidak meniru seluruh prilaku yang dikuatkan (reinforced). Selain itu, anak-anak ternyata dapat menirukan sesuatu berhari-hari bahkan berminggu-minggu setelah mereka mengamati prilaku tertentu tanpa harus dilakukan penguatan misalnya dengan pengulangan. Behaviorisme tidak dapat menjelaskan mekanisme yang mengintervensi mengapa ada respon yang tidak dihasilkan oleh seseorang yang telah diberi stimulus tertentu dan mengapa stimulus dan respon merupakan prilaku yang kompleks dan khas pada tiap-tiap orang, seperti pada penguasaan bahasa. Bertolak dari hal tersebut, teori kognitivisme memfokuskan diri pada proses mental yang bekerja pada saat stimulus diberikan, yang menyebabkan apakah respon tertentu akan dihasilkan atau tidak. Bagi behaviorisme proses mental ini tidak dapat dipelajari karena tidak dapat diamati secara langsung dan diukur. Sementara bagi kalangan kognitivis, proses tersebut harus dipelajari karena proses inilah yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang berfikir dan bagainama seseorang berprilaku seperti yang biasa dilakukannya (Winn, 2003).
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa realita diinterpretasibdan pengetahuan dinegosiasi melalui pengalaman dan pemikiran.

3.    Interpretivisme (serupa dengan konstruktivisme)
Barlett (1932) (dalam Simon, 2001) adalah pioneer faham konstruktifisme. Para pendukung konstruktifisme berpendapat bahwa masing-masing peserta didik memiliki pemahaman atas realitas yang dihadapinya –yang mungkin berbeda antara individu satu dengan yang lain—berdasarkan pengalaman masing-masing individu. Sehingga, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh sesorang sesungguhnya berfungsi sebagai pengetahuan awal, struktur mental, dan keyakinan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menginterpretasikan objek dan kejadian. Apa yang diketahui oleh seseorang adalah persepsi masing-masing orang tersebut terhadap keadaan dan pengalaman sosial yang diolah oleh akal. John Dewey (2009) dalam www.construtivism, menyatakan bahwa pendidikan bukan persoalan ‘menceritakan’ sesuatu dan mendengarkan cerita, akan tetapi, pendidikan adalah kegiatan atau proses yang aktif dan konstruktif. Beliau juga menyatakan bahwa motivasi internal yang dimiliki oleh peserta didik adalah kunci kesusksesan dunia pendidikan. Proses berfikir internal dengan menggunakan skema teori –Jean Piaget-- juga diadopsi oleh konstruktivisme, karena mereka juga berasumsi bahwa pengetahuan disusun berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya.

C.  MUNCULNYA TEORI  KONEKTIVISME

Konektivisme adalah integrasi prinsip yang dieksplorasi melalui teori chaos, network, dan teori kompleksitas dan organisasi diri. Kekacauan (chaos) adalah realita baru bagi para ahli ilmu pengetahuan. Definisi Nigel Calder (2009) menyatakan chaos (kekacauan) sebagai “a cryptic form of order”. Kekacauan adalah gangguan prediktabilitas dalam pendidikan. Tidak seperti konstruktivisme yang menyatakan bahwa pebelajar berusaha memperoleh pemahaman dengan pemaknaan, chaos menyatakan keberadaan makna – tantangan pebelajar adalah memahami pola-pola yang timbul sesaat. Pemaknaan dan pembentukan koneksi antara komunitas tertentu merupakan aktivitas penting.
Arif Abadi Surya (2009) mendiskripsikan Chaos (kekacauan) sebagai “suatu bentuk urutan/susunan yang samar/misterius”. Kondisi Chaos membuat hilangnya kemampu-prakiraan (predictability), karena adanya urutan/susunan yang ruwet (complicated) yang bertentangan dengan keteraturan. Tidak sama dengan faham konstruktivisme, yang menyatakan bahwa para peserta didik berusaha memahami sesuatu dengan membuat pengartian/pemaknaan; chaos menyatakan bahwa arti (makna) telah ada (the meaning exists) tantangan bagi peserta didik adalah untuk mengenali pola-polanya yang tersembunyi. Membuat pengartian/pemaknaan dan membentuk hubungan hubungan (forming connections) antar komunitas-komunitas khusus merupakan kegiatan-kegiatan yang penting dalam situasi chaos.
Selanjutnya, terkait dengan istilah network dalam teori konektivisme adalah jejaring, dunia kecil, keterkaitan singkat (Weak Ties). Arif Abadi Surya (2009) juga menjelaskan, bahwa suatu jejaring (network) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai keterhubungan antar entitas, contoh misalnya jejaring komputer, jejaring tenaga-listrik, jejaring sosial, dan lain sebagainya. Demikian juga manusia, kelompok, node, dapat dihubungkan untuk membentuk jejaring menjadi satu kesatuan yang terintegrasi. Semua jejaring menganut prinsip yang sama, yaitu perubahan-perubahan dalam jejaring mempunyai pengaruh yang dapat menggejolakkan seluruh jejaring.
“Di dunia sekarang ini, sebuah node bersaing untuk mendapatkan hubungan, karena adanya hubungan merupakan syarat untuk dapat bertahan hidup (survival) di dunia yang saling terinterkoneksi” (Arif Abadi Surya, 2009 dalam www.blog.wordpress.com).
Melakukan penilaian terhadap suatu node dibandingkan node yang lain telah menjadi realitas saat ini. Node-node yang sukses mendapatkan nilai yang lebih besar akan lebih sukses dalam mendapatkan tambahan hubungan hubungan baru. Dalam arti, kecenderungan suatu konsep pendidikan akan dianut (linked) tergantung pada seberapa baik dia terhubung dalam jejaring saat ini. Suatu node (bidang, ide, komunitas) yang mengkhususkan diri dan mendapat pengakuan atas keahliannya mempunyai peluang lebih besar untuk mendapat pengakuan lebih lanjut.
Keterkaitan singkat (weak ties) adalah hubungan atau “jembatan” yang memungkinkan hubungan singkat antar informasi. Jejaring dalam dunia kecil kita biasanya diisi oleh orang orang yang mempunyai keinginan dan pengetahuan yang sama dengan kita. Padahal hubungan-hubungan singkat antara orang-orang, bidang-bidang, dan ide-ide yang berbeda dibutuhkan karena dapat menciptakan inovasi-inovasi baru. Prinsip weak ties ini memberikan sumbangan besar terhadap kreativitas, bahkan dapat menentukan nasib kita.
Yang terakhir, istilah yang terkait dengan teori konektivisme adalah kompleksitas dan organisasi diri. Mengatur diri sendiri (self-organizing) merupakan suatu pembentukan susunan yang teratur dari struktur, pola, perilaku, dari kondisi awal yang random secara spontan. Self-organizing dalam sistem pendidikan membutuhkan sistem yang terbuka dalam informasi. Dengan demikian akan terjadi self-organizing yang dianalogikan dengan ribuan semut yang secara spontan menghindari tabrakan satu dengan membentuk barisan, demikian juga manusia akan secara spontan mengubah perilakunya ketika berjalan di trotoar agar tidak bertabrakan karena berpapasan. Self-organizing tingkat individu adalah proses mikro dari self-organizing tingkat organisasi atau lingkungan makro lainnya. Kemampuan membangun hubungan hubungan antara sumber sumber informasi, sehingga dapat menciptakan pengetahuan baru merupakan sesuatu yang harus dipelajari dalam era digital.
Konektivisme diarahkan oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada perubahan yang cepat. Informasi baru diperoleh secara kontinu, yang penting adalah kemampuan untuk menentukan antara informasi yang penting dan tidak penting. Yang juga penting adalah kemampuan mengetahui kapan informasi berganti (baru). Prinsip-prinsip konektivisme sebagaimana yang diungkapkan Siemens (2004) adalah:
1.        Kapasitas untuk dapat mengetahui lebih penting dari pada apa yang saat ini diketahui.
2.        Mendorong dan memelihara hubungan-hubungan diperlukan untuk memfasilitasi terjadinya proses pendidikan berkelanjutan.
3.        Kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan antara bidang bidang, ide-ide, dan konsep-konsep merupakan keterampilan inti.
4.        Kemutakhiran (akurat, pengetahuan up-to-date) merupakan tujuan dari teori konektivisme dalam dunia pendidikan.
5.        Pengambilan keputusan merupakan proses pola berfikir dalam pendidikan.
6.        Memilih apa yang akan dipelajari sangat penting dalam menghadapi “banjir informasi”.
7.    Makna dari informasi yang masuk harus dilihat melalui “kacamata” suatu pergeseran realitas. Suatu jawaban yang benar saat ini dapat salah besok pagi, karena adanya perubahan “iklim” informasi yang mempengaruhi keputusan tersebut.
Konektivisme juga menyatakan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan aktivitas. Pengetahuan yang dibutuhkan dihubungkan (to be connected) dengan orang yang tepat dalam konteks yang tepat agar dapat diklasifikasikan sebagai proses pendidikan. Dalm hal ini, behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme tidak menyatakan tantangan-tantangan dalam pengetahuan organisasional.
Aliran informasi dalam suatu organisasi merupakan elemen penting dalam hal efektifitas secara organisasi. Aliran informasi dianalogikan sama dengan pipa minyak dalam sebuah indusri. Menciptakan, menjaga, dan memanfaatkan aliran informasi hendaknya menjadi kunci aktivitas organisasional. Aliran pengetahuan dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai yang berliku-liku melalui ekologi suatu organisasi. Di daerah tertentu meluap dan di tempat lain airnya surut. Sehatnya ekologi pendidikan dari suatu organisasi tergantung pada efektifnya pemeliharan aliran informasi.
Analisis jaringan sosial merupakan unsur-unsur tambahan dalam memahami model-model belajar di era digital. Art Kleiner (2002) menguraikan quantum theory of trust milik Karen Stephenson yang menjelaskan tidak hanya sekadar bagaimana mengenal kapabelitas kognitif-kolektif dari suatu organisasi, tetapi bagaimana mengolah dan meningkatkannya. Starting point konektivisme adalah individu. Pengetahuan personal terdiri dari jaringan, yang hidup dalam organisasi atau institusi, yang pada gilirannya memberi umpan balik pada jaringan itu, dan kemudian terus menerus memberi pengalaman belajar kepada individu. Gerak perkembangan pengetahuan (personal ke jaringan ke organisasi) memungkinkan elemen-elemen dalam dunia pendidikan tetap mutakhir dalam bidangnya melalui hubungan (connections) yang mereka bentuk.

D.      PENERAPAN TEORI KONEKTIVISME
Teori konektivisme diterapkan dalam pendidikan yang dijelaskan secara singkat dalam makalah ini. Salah satunya, Penelitian George Siemens (2004) menunjukkan berbagai trend dalam era peralihan antara era industri dan era informasi abad ke-21 sebagai berikut:
§  Teknologi mengubah otak kita (rewiring our brain). Kita menggunakan teknologi untuk mendefinisikan dan membentuk pemikiran kita.
§  Organisasi dan individu keduanya merupakan organisme penggerak dalam dunia pendidikan. Peningkatan perhatian pada manajemen pengetahuan menunjukkan adanya kebutuhan akan suatu teori yang menjelaskan hubungan antara pendidikan individu dengan pendidikan organisasi.
§  Banyak proses-proses pendidikan (khususnya dalam pemahaman informasi) sekarang dapat di buang atau didukung dengan teknologi.
§  Mengetahui bagaimana (know-how) dan mengetahui tentang (know-what) sedang ditambah dengan mengetahui – di mana (know-where) yaitu mengetahui di mana “tempat“ untuk dapat diperoleh suatu informasi yang diperlukan.
Selanjutnya, teori konektivisme dapat dimasukkan ke dalam teknologi dan melakukan hubungan/koneksi (connection making) sebagai kegiatan/proses pendidikan dan kita mulai menggerakkan teori-teori pendidikan memasuki era digital. Kita tidak dapat lagi memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu secara individual. Kita memperoleh kompetensi dengan melakukan hubungan. Seorang pakar Karen Stephenson (2009) dalam www.blog.wordpress.com, menyatakan bahwa: “Pengalaman bukan lagi guru yang terbaik. Karena kita tidak dapat mengalami segala sesuatu semuanya, pengalaman orang lain kita perlukan. Orang lain menjadi wakil dari pengetahuan. “Saya menyimpan pengetahuan saya dalam diri teman saya” merupakan aksioma untuk mengumpulkan pengetahuan melalui mengumpulkan orang”.
Seperti yang telah diuraikan di atas, penulis dapat menjelaskan lebih lanjut tentang landasan ICT dalam dunia pendidikan seperti yang ditawarkan oleh teori konektivisme dan perkiraan dampaknya bagi psikologi masyarakat di masa yang akan datang.

1.        Dampak Information and Communication Technology (ICT) dalam Dunia Pendidikan
Peran ICT menurut teori konektivisme dalam pendidikan adalah menghubungkan (connecting) antara peserta didik, guru dan dosen serta lembaga pendidikan. Teori ini berpendapat bahwa untuk mendapatkan ilmu dalam ruangan yang resmi (lingkungan pendidikan klasik) dan waktu tertentu sudah tidak menjadi suatu keharusan bahkan bisa dikatakan tidak diperlukan lagi. Seperti halnya pendapat Umar Tirtarahardja (2005) yang menyimpulkan ada tiga macam lingkungan  pendidikan yang disebutnya sebagai Tripusat Pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat; sudah tidak relevan lagi. Dengan pengaruh teknologi informasi dan komunikasi serta sarana dan prasarana yang memadai di tengah masyarakat memungkinkan pengembangan lingkungan pendidikan tidak hanya berpusat di sekolah tapi juga masyarakat; hal itu telah terlihat dari sekarang lebih-lebih di masa depan nanti. Adapun contoh lingkungan pendidikan di tengah masyarakat saat ini yang terbaru adalah home schooling, sekolah alam, sekolah terbuka dan universitas terbuka yang kesemuanya mengembangkan sistem informasi dan komunikasi yang canggih dan modern, seperti: satelit, radio, televisi, jaringan internet, hand phone, dan lain-lain.
Pemanfaatan alat-alat dan sistem infromasi dan komunikasi tersebut di atas dapat digunakan dalam dunia pendidikan saat ini dan akan terus berkembang di masa yang akan datang sepert: e-book, e-journal, e-research, e-library, e-learning, dan lain-lain.

a.     e-book (Buku Online)
Pada masa kini, nyaris seluruh informasi yang ada dapat diakses di internet: Google, wiki, manual online, milis dan forum, blog, serta website berita. Kita pun terbebas dari keharusan membawa dan menyimpan buku karena dengan keberadaan alat yang berteknologi canggih saat ini kita dapat menjepret buku-buku yang ada menggunakan kamera digital dan disimpan dalam program PNG atau PDF.
Mengubah distribusi buku fisik menjadi elektronik akan menghilangkan sebagain besar kekurangan buku. Kelebihan lain dari e-book adalah dapat di search, disalin gratis dan disimpan tanpa makan tempat. Perlahan naumn pasti, perubahan ke arah e-book dari tahun-ke tahun terus berkembang. Di masa yang akan datang e-book akan menjadi lebih interaktif, misalnya orang dapat langsung mengirim komentar atau pertanyaan ke penulis dengan mengklik tombol di e-book (Steven Haryanto, 2008). Ada tes/kuis interaktif untuk menguji pemahaman pembaca. Grafik dan tabel yang ada bisa disortir, difilter dan dibolak-balik.

b.     e-library (Perpustakaan Online) dan e-journal (Jurnal Online )
Internet diibaratkan sebagai perpustakaan yang sangat besar dan sering disebut dengan istilah e-Library. Perpustakaan ini diharapkan mampu menampung kajian ilmu dan hasil – hasil penelitian dalam bentuk format digital, sehingga memudahkan untuk para peneliti. Dan banyak Jurnal Ilmiah (e-Journal) yang up-to-date dan diberikan secara gratis. Jurnal – jurnal ilmiah ini pada umumnya sudah dikelompokan dalam bidang ilmu tertentu yang dipublikasikan dalam web site yang khusus dalam bidang ilmu tersebut. Sedangkan e-Book merupan versi buku yang berbentuk elektronik atau buku tanpa kertas. Dalam versi ini buku menjadi lebih mudah diakses, dapat dibawa kemana – mana dan tidak memakan tempat. e-Book dapat dilengkapi dengan peralatan multimedia yang memungkinkan teks materi dilengkapi dengan visualisasi dan suara. Model lain pustaka elektronik seperti koran, tabloid majalah, sekarang menjadi bentuk e-News. e-News diciptakan berangkat dari gagasan bahwa Internet dapat digunakan untuk menyajikan informasi secara real time dan dengan cepat didistribusikan kepada para pembacanya di berbagai tempat.
Fasilitas bantu lainnya adalah kamus dan dalam versi elektronik dikenal dengan istilah e-Dictionary. Dengan e-Dictionary, selain mudah dalam pengoperasian, juga praktis dalam mencari arti dari kata – kata. Di Internet juga tersedia laboratorium yang merupakan ruang praktek yang digunakan untuk melakukan pembuktian terhadap suatu teori atau konsep, dan dapat juga digunakan sebagai tempat untuk mengembangkan ketrampilan seseorang dalam mengimplementasikan konsep-konsep rumus atau prosedur – prosedur yang telah dipelajari. Laboratorium dalam lingkungan internet lebih populer disebut dengan e-Laboratory. Dalam e-Laboratory, peralatan dibuat dalam bentuk software, sehingga para peneliti hanya mengoperasikan bentuk simulasi dari peralatan tersebut.

c.         e-research (Penelitian Online)
Ada beberapa keunggulan dalam pemanfaatan internet sebagai media riset. Dari segi konektivitas dan jangkauan global, pengaksesan data dan informasi melampaui batas-batas negara dan memungkinkan mendapatkan/ mengakses informasi dari database dan perpustakaan yang lengkap di seluruh dunia dan juga berasal dari beraneka ragam sumber. Kemudian akses informasi di internet tidak dibatasi waktu karena lingkupnya yang global. Dilihat dari kecepatan, bila di bandingkan dengan sumber data tradisional, riset melalui internet jauh lebih cepat, karena bersifat real time. Kecepatan ini bisa di bandingkan, misalnya pencarian informasi secara elektronik melalui mesin pencari (search engines) dengan pencarian lewat katalog perpustakaan atau pencarian buku/majalah/jurnal di rak-rak perpustakaan. Selain kecepatan, kenyamanan juga akan didapatkan, karena peneliti lewat internet tidak harus menghadapi berbagai birokratis. Selain itu, berbagai fitur (features) yang di rancang khusus dan user-friendly sangat memudahkan peneliti mengakses berbagai situs internet. Kemudahan akses juga akan didapat dengan adanya dukungan fasilitas komputer yang terhubung ke internet baik itu di kampus, di warnet (warung internet) maupun milik pribadi. Dan dibandingkan membeli jurnal asli, penelusuran informasi lewat internet jauh lebih murah. Apalagi banyak situs yang menyediakan jasa informasi secara cuma-cuma. Serta akan lebih interaktif dan fleksibel jika topik dan hasil riset bisa didiskusikan melalui sarana di internet misalnya mailing list atau chatting. Dengan itu, peneliti bisa mengikuti perkembangan terbaru atau meminta komentar dan penilaian dari berbagai pihak (Tjiptono, 2000).

d.        e-learning (Pembelajaran Online)
Dalam dunia pendidikan dan pembelajaran dengan sistem online memungkinkan peserta didk untuk mengakses informasi secara fleksibel tanpa terbatas waktu dan tempat. Istilah “belajar online”(online learning) memiliki banyak padanan istilah yang sering digunakan termasuk e-learning, internet learning, distributed learning, networked learning, tele-learning, virtual learning, computer-assisted-learning, Web-based learning, distance learning. Semua istilah tersebut merujuk pada adanya jarak antara peserta didik dan pendidik atau instruktur, dimana peserta didik memanfaatkan teknologi komputer untuk mengakses materi pelajaran, berinteraksi dengan pendidik dan peserta didik lainnya, dan memperoleh beberapa bentuk bantuan yang tersedia bagi peserta didik.
Simmons (2002) menyatakan bahwa secara berangsur-angsur, banyak organisasi mengadopsi Online Learning sebagai metode penyampaian utama untuk melatih para pegawai. Meskipun penggunaan sistem belajar online merupakan suatu yang relative mahal, namun dapat ditarik suatu manfaat yang sangat besar dari strategi tersebut baik bagi peserta didik maupun bagi pendidik. Dalam Asynchronous Online Learning pebelajar dapat mengakses materi pelajaran kapan saja, sedangkan Synchronous Online Learning memungkinkan interaksi nyata (real time) antara pebelajar dengan pengajar (Ally, 2007). Para pebelajar dapat menggunakan internet untuk mengakses materi-materi yang baru dan relevan, dan dapat berkomuniksai dengan para ahli dalam bidang yang mereka pelajari. Dengan demikian peserta didik dapat melakukan pembelajaran atau mengakses materi pelajaran tanpa terbatas waktu dan tempat, memungkinkan melakukan interaksi nyata dengan pendidik dan peserta didik lainnya dan dapat mengkontekstualisasi pembelajaran. Bagi pendidik juga memperoleh manfaat yang serupa yaitu dapat melakukan pembelajaran setiap saat dan dari manapun, dapat memperbaharui materi yang dengan segera dapat diketahui oleh peserta didik, mengarahkan peserta didik kepada informasi sesuai kebutuhan mereka, dan jika didesain secara tepat dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan dan tingkat keahlian peserta didik serta memberi materi yang tepat kepada peserta didik untuk dipilih dalam rangka mencapai outcome yang diinginkan.
2.        Perkiraan dan Antisipasi Psikologi Masyarakat Masa Depan
Information and Communication Technology (ICT) membawa perkembangan masyarakat beserta kebudyaannya sekarang ini makin mengalami percepatan serta meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika dalam buku Umar Tirtarahardja (2005) menyimpulkan beberapa karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di masa depan:
1.        Kecendrungan globalisasi yang makin kuat
2.        Perkembangan iptek yang makin cepat
3.        Kebutuhan/tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai segi kehidupan manusia. Keseluruhan hal itu telah mulai tampak pengaruhnya masa kini, serta diperkirakan akan makin penting peranannya di masa depan.
            Pemahaman tentang keadaan masa depan tersebut akan sangat penting sebagai latar depan segala kebijakan dan upaya pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Seperti yang dikemukakan Moh. Ansyar dalam Umar Tirtarahardja (2005): “Zaman kita, yang oleh Alvin Toffler disebut Gelombang Ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut Zaman Pasca-Industri, memerlukan suatu pendidikan yang berbeda dengan pendidikan pada zaman sebelumnya.” Kajian masyarakat masa depan itu semakin penting jika diingat peranannya di masa yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan seharusnya selalu mengantisipasi keadaan masyarakat masa depan.

a.        Kecendrungan Globalisasi
Istilah globalisasi (asal kata: global yang berarti secara umumnya, utuhnya, kebulatannya) bermakna bumi sebagai satu keutuhan seakan-akan tanpa tapal batas administrasi negara, dunia menjadi amat tranparan serta saling ketergantungan antar bangsa di dunia semakin besar, dengan kata lain: Menjadikan dunia sebagai satu keutuhan, satu kesatuan. Suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu negara tertentu akan tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok dunia, dari perkotaan sampai pedesaan, serta akan mempunya pengaruh terhadap manusia dan masyarakat di mana pun di dunia ini. Dunia seakan-akan menjadi sempit dan tak menghiraukan lagi batas-batas negara.

b.        Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
“Perkembangan iptek yang makin cepat dalam era globalisasi merupakan salah satu ciri utama dari masyarakat masa depan. Perkembangan iptek pada akhir abad ke-20 ini sangat mengesankan, utamanya dalam bidang-bidang transportasi, telekomunikasi, dan informatika, genetika, biologi molekul serta bioteknologi, dan sebagainya” (Umar Tirtarahardja, 2005). Dampak dari perkembangan iptek tersebut dapat bernilai positif ataupun negatif, tergantung pada kesiapan bangsa beserta kondisi sosial-budayanya untuk menerima limpahan informasi/teknologi itu. “Segi positifnya antara lain memudahkan untuk mengikuti perkembangan iptek yang terjadi di dunia, menguasai dan menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan segi negatif akan timbul apabila kondisi sosial-budaya belum siap menerima limpahan itu (Pratiwi Sudarsono dalam Umar Tirtarahardja, 2005).
Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, dalam masyarakat masa depan maka perlu diupayakan agar setiap anggota masyarakat melek iptek, yakni memiliki wawasan yang tepat serta mengetahui terminologi beserta maksudnya yang lazim digunakan tanpa harus menjadi pakar iptek tersebut. Bahkan “lulusan SD (sekolah dasar) harus menjadi melek huruf, dalam arti melek teknologi dan melek pikir (thingking literacy) yang keseluruhannya juga disebut melek kebudayaan (cultural literacy)” (Conny R. Semiawan, dalam Umar Tirtarahardja, 1995). Seiring dengan itu tentu diperlukan pakar-pakar iptek yang menguasai secara mendalam serta memiliki wawasan yang luas dan mampu bekerja secara interdisipliner namun tetap berpijak pada kebudayaan bangsa Indonesia.

c.         Perkembangan Arus Komunikasi yang Semakin Padat dan Cepat
Salah satu perkembangan iptek yang luar biasa adalah yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi, utamanya satelit komunikasi, komputer, internet, dan sebagainya. Seperti telah dikemukakan bahwa kemajuan itu telah mendorong perubahan masyarakat dari masyarakat industri ke masyarakat informasi; dan untuk Indonesia, terjadi perubahan yang hampir serentak dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan masyarakat informasi. Terdapat beberapa istilah yang dipakai dalam menjelaskan perkembangan global yang cepat pada abad ke-21 ini, antara lain: Gelombang Ketiga (Alfin Toffler), Zaman Pasca-Industri (John Nasibit), Dunia tanpa Tapal Batas (Kenichi Ohmac: The Borderless World), Revolusi Komunikasi (Frederick Williams: The Communications Revolution), dan sebagaainya. Keseluruhan nama-nama tersebut paling tepat melukiskan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi masa kini, terlebih-lebih di masa depan, yang seakan-akan telah mampu mengatasi dimensi raung dan waktu.
Pada umumnya bentuk keomunikaksi langsung (verbal ataupun non verbal) dikenal sebagai komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), baik komunikasi antardua orang (dynamic communication), maupun komunikasi kelompok kecil (small group communication) dengn ciri pokok adanya dialog di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Sedangkan bentuk komunikasi yang bercirikan monolog adalah komunikasi publik, yang dibedakan atas komunikasi pembicara-pendengan (speaker-audience communication) umpama pada suatu rapat umum, dan komunikasi massa seperti surat kabar, radio, televisi,internet, dan sebagainya yang menyangkut penerima yangn (speaker-audience communication) umpama pada suatu rapat umum, dan komunikasi massa seperti surat kabar, radio, televisi,internet, dan sebagainya yang menyangkut penerima yang sangaat luas (Komunikasi Pendidikan, dalam Umar Tirtarahardja, 2005).

d.        Peningkatan Layanan Profesional
Salah satu ciri penting masyarakat masa depan adalah meningkatnya kebutuhan layanan profesional dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Karena perkembangan iptek yang makin cepat serta perkembangan arus informasi dan komunikasi yang semakin padat dan cepat, maka anggota masyarakat masa depan semakin luas wawasan dan pengetahuannya serta daya kritis yang semakin tinggi. Oleh karena itu, manusia masa depan tersebut makin menuntut suatu kualitas hidup yang lebih baik, termasuk berbagai layanan yang dibutuhkannya. Layanan yang diberikan oleh pemangku profesi tertentu, atau layanan profesional, akan semakin penting untuk kebutuhan masyarakat tersebut.
Profesi adalah suatu lapangan pekerjaan dengan persyaratan tertetnu, “suatu vokasi khusus yang mempunyai ciri-ciri: Expertise (keahlian), responsibility (tanggung jawab), corporateness (kesejawatan)” (Huntington dalam Umar Tirtaraharda, 2005). Dari (Profesionalisasi Jabatan Guru dalam Umar Tirtarahardja, 2005) dapat dijabarkan berbagai ciri profesi:
1.    Lebih mengutamakan pelayanan kemanusiaan yang ideal, dan layanan itu memperoleh pengakuan masyarakat.
2.    Terdapat sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan dari sejumlah teknik dan prosedur yang unik, serta diperlukan waktu yang relatif panjang untuk mempelajarinya sebagai periode persiapan yang sengaja dan sistematis agar mampu melaksanakan layanan itu (pendidikan/pelatihan prajabatan, dll).
3.    Terdapat suatu mekanisme saringan berdasarkan kualifikasi tertentu, sehingga hanya yang kompeten yang diperbolehkan melakukan layanan profesi itu.
4.    Terdapat suatu kode etik profei yang mengatur keanggotaan, serta tingkah laku, sikap dan cara kerja dari anggota itu.
5.    Terdapat organisasi profesi yang akan berfungsi menjaga/meningkatkan layanan profesi, dan melindungi kepentingan serta kesejahteraan anggotanya.
6.    Pemangku profesi memandang profesinya sebagai suatu karier hidup dan menjadi seorang anggota yang relatif permanen serta mempunyai kemandirian dalam melaksanakan profesinya dan untuk mengembangkan kamampuan profesionalnya sendiri.

e.         Upaya Mengantisipasi Masa Depan
Berdasarkan perkiraan tentang masyarakat masa depan serta profil manusia yang diharapkan berhasil di dalam masyarakat itu maka perlu dikaji berbagai upaya masa kini yang memungkinkan mewujudkan manusia masa depan tersebut. Meskipun upaya pendidikan selalu berorientasi ke masa depan, namun peralihan ke abad 21 saat ini sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia, karena persaingan yang sangat pesat dalam bidang pembangunan di segala lini yang ditunjang oleh sistem teknologi informasi dan komunikasi dan teknologi terapan lainnya.
Dari penjelasan di atas ternyata bahwa fungsi pendidikan (jalur sekolah dan luar sekolah) diarahkan bukan hanya untuk pembangunan manusia saja tetapi juga ikut serta dalam pembangunan maysarakat. Oleh karena itu, kajian tentang upaya mengantisipasi masa depan melalui pendidikan akan diarahkan pada:
1.        Aspek yang paling berperan dalam individu untuk memberi arah antisipasi tersebut yakni nilai dan sikap.
2.        Pengembangan budaya dan sarana kehidupan.
3.        Tentang pendidikan itu sendiri, utamanya pengembangan sarana pendidikan. Ketiga hal tersebut merupakan titik strategi dalam antisipasi masa depan tersebut.





E.       KESIMPULAN

Pandangan konektivisme memiliki implikasi dalam semua aspek kehidupan. Berikut adalah aspek yang juga terpengaruh selain pengaruhnya dalam sistem pendidikan dan pembelajararan, menurut Siemens (2005) yaitu: 1) Manajemen dan kepemimpinan. Pengelolaan sumber-sumber untuk mencapai outcome yang diharapkan merupakan suatu tantangan. Menyadari bahwa pengetahuan yang lengkap tidak ada dalam pemikiran seseorang saja maka diperlukan adanya pendekatan yang berbeda untuk menciptakan pandangan terhadap segala situasi. Keberagaman tim dari berbagai sudut pandang merupakan struktur penting untuk memperoleh ide-ide yang lengkap. Inovasi juga merupakan suatu tantangan. Kemampuan suatu organisasi untuk mendukung, memelihara, dan mensintesis pengaruh-pengaruh berbagai pandangan tentang informasi adalah penting untuk bertahannya pengetahuan. Cepatnya suatu ide diimplementasikan adalah juga meningkatkan pandangan dalam sistem pendidikan dan pembelajaran. 2) Media, berita, informasi. 3) Pengelolaan pengetahuan seseorang dalam kaitannya dengan pengelolaan pengetahuan organisasional. 4) Desain lingkungan pendidikan dan pembelajaran.


















Referensi:

1.        Arif Abadi Surya (2009). www.blog.wordpress.com
2.        Art Kleiner (2002). www.blog.wordpress.com
3.        Bill Gate (2009) http.blog.wordpress.com
4.        I Nyoman Mardika (2009). www.connectivism.com
5.        Karen Stephenson’s (2009) Quantum Theory of Trust, www.netform.com
6.        M.P. Huguet, Online Teaching, Blended Instruction, and Choosing the Right Tools,
             www.connectivism.com
7.        Nigel Calder (2009). www.connectivism.com
8.        Siemens, G. (2004). Connectivism: A learning theory for the digital age. International
              Journal of Instructional Technology and Distance. http://www.itdl.org/journal/jan-05/article01.html
9.        Siemens, G. (2005). Meaning making, learning, subjectivity Retrieved on November
             12, 2006, from http://connectivism.ca/blog/2005/12meaning-making-learning-
              subjec.html.
10.    Prof. Dr. Umar Tirtarahardja & Drs. S.L. La Sulo (2005) Pengantar Pendidikan Edisi
               Revisi. PT Rineka Cipta, Jakarta.
11.    Steven Haryanto dan Asep Herman Suyanto, 2008 dalam
             http://www.asep-hs.web.ugm.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar