Jumat, 15 Juli 2011

Sistem Birokrasi Pendidikan

Visi dan Koordinasi Lemah

DPRD Usulkan Naik Percobaan

Padang Ekspres • Rabu, 29/06/2011 11:56 WIB • Gusti a gayatri & Eka r • 57 klik

Sawahan, Padek—Lemahnya koordinasi dan visi pendidikan dan olahraga di antara pemangku kepentingan, menyebabkan masalah atlet berprestasi tinggal kelas tidak kunjung tuntas dipecahkan. Karena itu, DPRD Padang meminta Disdik memainkan peran penting memediasi sengkarut 32 atlet berprestasi yang tak naik kelas di SMAN 2 Padang itu.


Komisi IV DPRD yang membidangi sektor pendidikan dan olahraga, meminta Dinas Pendidikan dan sekolah tidak lepas tangan dalam persoalan ini. Harus ada perlakuan khusus bagi atlet berprestasi. Untuk solusi jangka pendek, Komisi IV mengusulkan 32 siswa itu diberi naik percobaan.


Ketua Komisi IV DPRD Padang Azwar Siry melihat persoalan ini kompleks. Pandangan dari berbagai sudut dibutuhkan untuk membuat masalah lebih jernih. “Siswa berprestasi memang perlu diakomodir, tapi tidak berarti berhak menerima kebebasan yang sebebas-bebasnya. Selayaknya seorang atlet tidak hanya memiliki kemampuan di bidang olahraga, tapi juga memiliki kecerdasan,” Azwar kepada Padang Ekspres, kemarin (28/6).


Lemahnya koordinasi birokrasi pendidikan dan pihak sekolah dengan organisasi olahraga, disebut Azwar, sebagai satu soal. Kedua belah pihak mestinya bisa menentukan yang terbaik bagi anak didik. Termasuk dalam hal jadwal latihan dan sekolah. “Pembentukan sekolah khusus olahraga (SKO) memang dibutuhkan, tapi itu belum tentu kapan waktunya. Harus ada langkah cepat untuk menyelamatkan anak-anak ini,” tukasnya.

Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Padang Bambang Sutrisno di media tentang semua siswa diperlakukan sama, tidak disalahkan Azwar. Akan tetapi, tentu harus ada kebijakan Disdik terhadap para pelajar yang berprestasi tersebut. Dinas tak bisa lepas tangan seperti itu.


Disdik harus melakukan mediasi antara wali murid dan organisasi olahraga. Sehingga ada solusi yang didapatkan untuk kedua belah pihak. “Kenaikan kelas percobaan bisa jadi solusi jangka pendek. Pelajar yang tidak naik kelas bisa mengikuti pelajaran tambahan saat musim liburan. Apabila, nanti setelah diberi kesempatan mereka tak mampu, maka tentu saja para pelajar tersebut harus mengulang kembali. Setidaknya harus ada kesempatan yang kita berikan untuk mereka,” ulasnya.


Sekretaris Komisi IV Zaharman juga menyesalkan terlambatnya penangaan yang dilakukan pihak sekolah sehingga 32 siswa berprestasi tak naik kelas. “Jika sekolah mengetahui nilai pelajarnya rendah, mereka terlebih dahulu membuat kebijakan seperti ujian ulangan. Atau memberikan tugas tambahan untuk mendongkrak nilai mereka. Karena telah jadi konsumsi publik, mau tidak mau harus ada solusi yang bisa diberikan untuk siswa berprestasi,” sarannya.


Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Padang Bambang Sutrisno menyatakan siap memediasi persoalan banyaknya siswa berprestasi di bidang olahraga di SMAN 2 Padang yang tidak naik kelas.
“Kami nanti akan duduk bersama dengan pihak-pihak terkait menyelesaikan persoalan ini. Masukan DPRD terhadap solusi jangka pendek, tentunya jadi masukan bagi Disdik. Saya belum dapat memberikan jawaban langkah apa yang akan diambil untuk siswa berprestasi di bidang olahraga itu. Tunggulah mediasi itu kami lakukan,” tuturnya.


Tak Ada Apresiasi
Salah seorang orangtua atlet yang tinggal kelas di SMAN 2 mengungkapkan, tidak ada pihak sekolah melakukan pemanggilan atau memberi kesempatan pada siswa berprestasi di bidang olahraga untuk melakukan remedial (pengulangan).


“Anak kami tidak ada dipanggil soal nilai. Tahu-tahu sudah ada rapat dan anak saya tinggal (tidak naik kelas, red),” ujar bapak itu yang minta namanya tidak ditulis karena khawatir anaknya makin dipersulit di sekolah.


Menurutnya, kepemimpinan kepala sekolah sebelum Prima Yunaldi, siswa yang tergolong atlet diberi toleransi. Seperti jadwal masuk siswa dilonggarkan. Jika siswa umum masuk pukul 06.45 WIB, atlet ini diberi kesempatan untuk masuk pada pukul 07.15.


Wali murid lainnya juga menyesalkan tidak adanya kepedulian sekolah terhadap prestasi atlet yang terkadang membawa nama daerah dalam iven olahraga. “Anak kami pun mengaku tidak pernah diberi kesempatan pihak sekolah agar ujian ulang atau tugas dan jam belajar tambahan,” jelas orangtua siswa lainnya.


Informasi yang diperoleh Padang Ekspres dari salah seorang guru di SMAN 2 Padang, mengungkapkan, nilai siswa berprestasi di bidang olahraga itu sebenarnya hanya kurang sedikit dari kriteria kelulusan.

Rabu, 06 Juli 2011

Judul-Judul PTK

JUDUL PENELITIAN TINDAKAN KELAS


No.

JUDUL PTK
1

Penggunaan Metode Bermain Peran Pada Pembelajaran Sejarah Islam Untuk Meningkatkan Penghayatan Terhadap Ajaran Islam Dalam Kehidupan Sehari-Hari Siswa Kelas 2 SMP Negeri XXX
2

Penerapan Pembelajaran “Kates” Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran IPS Di Kelas VI SDN XXX
3

Meningkatkan Komptensi Writing Pada Teks Report dengan Starategi Mind Mapping pada Siswa Kelas XI SMA XXX
4.

Upaya Peningkatan Pemahaman Teks Bahasa Inggris Dengan Menggunakan ‘Games’ Pada Kelas XII SMK Negeri 3 Xxx Tahun Pelajaran
5

“Peningkatan Kebiasaaan Sholat Lima Waktu Melalui Pemberian Motivasi Multi Aspek”
6

Peningkatan Kreativitas Menulis Narasi Melalui Pengembangan Kalimat Dialog Bagi Siswa Kelas V SDN XXX Tahun Pelajaran ….
7

Penggunaan Metode Qiraati Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Membaca Alquran Pada Siswa Kelas VI SD Negeri 1 Xxx Kabupaten Xxx
8

Meningkatkan Keterampilan Menulis Paragraf Siswa Kelas II SMP Negeri XXX Melalui Tindakan Pemahaman Konsep Dan Pemodelan

Supervisi

Pengawas Sekolah – Supervisi Manajerial
Pengawas Sekolah - Supervisi Manajerial
A. Pengertian Supervisi Manajerial
Supervisi adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan dalam rangka membantu kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya guna meningkatkan mutu dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Supervisi ditujukan pada dua aspek yakni: manajerial dan akademik.
Supervisi manajerial menitikberatkan pada pengamatan pada aspek-aspek pengelolaan dan administrasi sekolah yang berfungsi sebagai pendukung (supporting) terlaksananya pembelajaran. Sementara supervisi akademik menitikberatkan pada pengamatan supervisor terhadap kegiatan akademik, berupa pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Dalam Panduan Pelaksanaan Tugas Pengawas Sekolah/ Madrasah (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009:20) dinyatakan bahwa supervisi manajerial adalah supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM) kependidikan dan sumberdaya lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas sekolah/madrasah berperan sebagai: (1) kolaborator dan negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah, (2) asesor dalam mengidentifikasi kelemahan dan menganalisis potensi sekolah, (3) pusat informasi pengembangan mutu sekolah, dan (4) evaluator terhadap pemaknaan hasil pengawasan.
B. Prinsip-Prinsip Supervisi Manajerial
Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam supervisi manajerial, adalah:

Pengawas harus menjauhkan diri dari sifat otoriter, di mana ia bertindak sebagai atasan dan kepala sekolah/guru sebagai bawahan.
Supervisi harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang harus diciptakan harus bersifat terbuka, kesetiakawanan, dan informal (Dodd, 1972).
Supervisi harus dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan (Alfonso dkk., 1981 dan Weingartner, 1973).
Supervisi harus demokratis. Supervisor tidak boleh mendominasi pelaksanaan supervisi. Titik tekan supervisi yang demokratis adalah aktif dan kooperatif.
Program supervisi harus integral. Di dalam setiap organisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan pendidikan (Alfonso, dkk., 1981).
Supervisi harus komprehensif. Program supervisi harus mencakup keseluruhan aspek, karena hakikatnya suatu aspek pasti terkait dengan aspek lainnya.
Supervisi harus konstruktif. Supervisi bukanlah sekali-kali untuk mencari kesalahan-kesalahan guru.
Supervisi harus obyektif. Dalam menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi,keberhasilan program supervisi harus obyektif. Obyektivitas dalam penyusunan program berarti bahwa program supervisi itu harus disusun berdasarkan persoalan dan kebutuhan nyata yang dihadapi sekolah.

C. Metode Supervisi Manajerial
Beberapa metode supervisi manajerial, antara lain: (1) monitoring dan evaluasi, (2) FGD, (3) metode Delphi, dan (4) Workshop.
1. Monitoring dan Evaluasi
Metode utama yang harus dilakukan oleh pengawas satuan pendidikan dalam supervisi manajerial tentu saja adalah monitoring dan evaluasi. Monitoring adalah suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah, apakah sudah sesuai dengan rencana, program, dan/atau standar yang telah ditetapkan, serta menemukan hambatan-hambatan yang harus diatasi dalam pelaksanaan program (Rochiat, 2008: 115). Monitoring lebih berpusat pada pengontrolan selama program berjalan dan lebih bersifat klinis. Melalui monitoring, dapat diperoleh umpan balik bagi sekolah atau pihak lain yang terkait untuk menyukseskan ketercapaian tujuan. Aspek-aspek yang dicermati dalam monitoring adalah hal-hal yang dikembangan dan dijalankan dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Dalam melakukan monitoring ini tentunya pengawas harus melengkapi diri dengan parangkat atau daftar isian yang memuat seluruh indikator sekolah yang harus diamati dan dinilai. Sementara, evaluasi merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui sejauhmana kesuksesan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah atau sejauhmana keberhasilan yang telah dicapai dalam kurun waktu tertentu. Tujuan evaluasi utamanya adalah untuk (1) mengetahui tingkat keterlaksanaan program, (2) mengetahui keberhasilan program, (3) mendapatkan bahan/masukan dalam perencanaan tahun berikutnya, dan (4) memberikan penilaian (judgement) terhadap sekolah.
Dalam perkembangan terakhir, kecenderungan pengawasan dalam dunia pendidikan juga mengikuti apa yang dilakukan pada industri, yaitu dengan menerapkan Total Quality Control. Pengawasan ini terfokus pada upaya pengendalian mutu dan lebih bersifat internal. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan seyogyanya memiliki unit penjaminan mutu.
2. Focused Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus)
Sesuai dengan paradigma baru manajemen sekolah yaitu pemberdayaan dan partisipasi, maka judgement keberhasilan atau kegagalan sebuah sekolah dalam melaksanakan program atau mencapai standar bukan semata-mata hanya menjadi otoritas pengawas. Hasil monitoring yang dilakukan pengawas hendaknya disampaikan secara terbuka kepada pihak sekolah, terutama kepala sekolah, komite sekolah dan guru. Selanjutnya, secara bersama-sama pihak sekolah dapat melakukan refleksi terhadap data yang ada, dan menemukan sendiri faktor-faktor penghambat serta pendukung yang selama ini mereka rasakan.
Forum untuk ini dapat berbentuk Focused Group Discussion (FGD), yang melibatkan unsur-unsur stakeholder sekolah. Diskusi kelompok terfokus ini dapat dilakukan dalam beberapa putaran sesuai dengan kebutuhan. Tujuan dari FGD adalah untuk menyatukan pandangan stakeholder mengenai realitas kondisi (kekuatan dan kelemahan) sekolah, serta menentukan langkah-langkah strategis maupun operasional yang akan diambil untuk memajukan sekolah. Peran pengawas dalam hal ini adalah sebagai fasilitator sekaligus menjadi narasumber apabila diperlukan, untuk memberikan masukan berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.
3. Metode Delphi
Metode Delphi dapat digunakan oleh pengawas dalam membantu pihak sekolah merumuskan visi, misi dan tujuannya. Sesuai dengan konsep MBS. Dalam merumuskan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) sebuah sekolah harus memiliki rumusan visi, misi dan tujuan yang jelas dan realistis yang digali dari kondisi sekolah, peserta didik, potensi daerah, serta pandangan seluruh stakeholder.
Metode Delphi dapat disampaikan oleh pengawas kepada kepala sekolah ketika hendak mengambil keputusan yang melibatkan banyak pihak.
Gorton (1976: 26-27) mengemukakan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam menggunakan metode Delphi, sebagai berikut:

Mengidentifikasi individu atau pihak-pihak yang dianggap memahami persoalan dan hendak dimintai pendapatnya mengenai pengembangan sekolah;
Masing-masing pihak diminta mengajukan pendapatnya secara tertulis tanpa disertai nama/identitas;
Mengumpulkan pendapat yang masuk, dan membuat daftar urutannya sesuai dengan jumlah orang yang berpendapat sama.
Menyampaikan kembali daftar rumusan pendapat dari berbagai pihak tersebut untuk diberikan urutan prioritasnya.
Mengumpulkan kembali urutan prioritas menurut peserta, dan menyampaikan hasil akhir prioritas keputusan dari seluruh peserta yang dimintai pendapatnya.

4. Workshop
Workshop atau lokakarya merupakan salah satu metode yang dapat ditempuh pengawas dalam melakukan supervisi manajerial. Metode ini tentunya bersifat kelompok dan dapat melibatkan beberapa kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan/atau perwakilan komite sekolah. Penyelenggaraan workshop ini tentu isesuaikan dengan tujuan atau urgensinya, dan dapat diselenggarakan bersama dengan Kelompok Kerja Kepala Sekolah, Kelompok Kerja Pengawas Sekolah atau organisasi sejenis lainnya. Sebagai contoh, pengawas dapat mengambil inisiatif untuk mengadakan workshop tentang pengembangan KTSP, sistem administrasi, peran serta masyarakat, sistem penilaian dan sebagainya.
Agar pelaksanaan workshop berjalan efektif, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Menentukan materi atau substansi yang akan dibahas dalam workshop. Materi workshop biasanya terkait dengan sesuatu yang bersifat praktis, walaupun tidak terlepas dari kajian teori yang diperlukan sebagai acuannya.
Menentukan peserta. Peserta workshop hendaknya mereka yang terkait dengan materi yang dibahas.
Menentukan penyaji yang membawakan kertas kerja. Kriteria penyaji workshop antara lain: (1) seorang praktisi yang benar-benar melakukan hal yang dibahas; (2) memiliki pemahaman dan landasan teori yang memadai; (3) memiliki kemampuan menulis kertas kerja, disertai contoh-contoh praktisnya; (4) memiliki kemampuan presentasi yang baik; (5) memiliki kemampuan untuk memfasilitasi/membimbing peserta.
Mengalokasikan waktu yang cukup.
Mempersiapkan sarana dan fasilitas yang memadai.

Dalam pelaksanaan supervisi manajerial, pengawas dapat menerapkan teknik supervisi individual dan kelompok. Teknik supervisi individual di sini adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada kepala sekolah atau personil lainnya yang mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan.
Teknik supervisi kelompok adalah satu cara melaksanakan program supervisi yang ditujukan pada dua orang atau lebih. Kepala-kepala sekolah yang diduga, sesuai dengan analisis kebutuhan, memiliki masalah atau kebutuhan atau kelemahan-kelemahan yang sama dikelompokkan atau dikumpulkan menjadi satu/bersama-sama. Kemudian kepada mereka diberikan layanan supervisi sesuai dengan permasalahan atau kebutuhan yang mereka hadapi.

Praktek Pembelajaran

GURU DAN PRAKTEK PEMBELAJARAN
Telah disyaratkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa untuk dapat memangku jabatan guru, minimal memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Namun dalam kenyataannya saat ini kualifikasi pendidikan guru di Indonesia memang masih beragam. Dalam hal ini, Conny Semiawan (Sudarwan Danim, 2002), memilah keberadaan tenaga guru di Indonesia ke dalam tiga jenis secara hierarkis, yaitu :

Guru sebagai tenaga profesional, yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 (atau yang setara), memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
Guru sebagai tenaga semi profesional, yang berkualifikasi pendidikan D3 (atau yang setara) yang telah berwenang mengajar secara mandiri tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam hal perencanaan pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
Guru sebagai tenaga paraprofesional, yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian/ pembelajaran.

Sementara itu, dalam praktik pembelajaran pun tampaknya masih terjadi keragaman. Dengan mengadopsi pemikiran Prayitno (2005) tentang lima tingkatan praktik dalam konseling, di bawah ini dijelaskan secara singkat tentang lima tingkatan praktik pembelajaran, sebagai berikut:
1. Tingkat pembelajaran pragmatik.
Tingkat pembelajaran pragmatik yaitu pembelajaran yang diselenggarakan guru dengan menggunakan cara-cara yang menurut pengalaman guru pada waktu terdahulu dianggap memberikan hasil yang optimal, meskipun cara-cara tersebut sama sekali tidak berdasarkan pada teori tertentu.
2.Tingkat pembelajaran dogmatik
Pada tingkat pembelajaran dogmatik, praktik pembelajaran yang dilakukan guru telah menggunakan pendekatan berdasarkan teori tertentu, namun pendekatan tersebut dijadikan dogma untuk segenap kepentingan proses pembelajaran siswa.
3. Tingkat pembelajaran sinkretik
Pada tingkat pembelajaran sinkretik, pembelajaran yang diselenggarakan guru telah menggunakan sejumlah pendekatan pembelajaran, namun penggunaan pendekatan tersebut bercampur aduk tanpa sistematika ataupun pertimbangan yang matang. Pendekatan-pendekatan tersebut sekedar dicomot dan diterapkan dalam kegiatan pembelajaran tanpa memperhatikan relevansi dan ketepatannya.
4. Tingkat pembelajaran eklektik
Dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektik, guru telah memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai pendekatan pembelajaran dengan berbagai teknologinya, dan berusaha memilih serta menerapkan sebagian atau satu kesatuan pendekatan beserta teknologinya sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan belajaran siswa. Pendeketan-pendekatan tersebut tidak dicampur aduk, namun dipilah-pilah, masing-masing diplih secara cermat untuk kepentingan pembelajaran siswa. Penyelenggaraan pembelajaran eklektif tidak mengangungkan atau menjadikan suatu pendekatan pembelajaran tertentu sebagai dogma. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pembelajaran eklektif, guru mengetahui kapan menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan pembelajaran tertentu.
5. Tingkat pembelajaran mempribadi
Tingkat pembelajaran yang mempribadi mempunyai ciri-ciri : (1) penguasaan yang mendalam terhadap sejumlah pendekatan pembelajaran beserta teknologinya, (2) kemampuan memilih dan menerapkan secara tepat pendekatan berserta teknologinya untuk kepentingan pembelajaran siswa, dan (3) pemberian warna pribadi yang khas sehingga tercipta praktik pembelajaran yang benar-benar ilmiah, efektif, produktif, dan unik.
Refleksi untuk Anda:

Tingkat pembelajaran manakah yang paling banyak dilakukan guru di Indonesia saat ini?
Jika dihubungkan dengan sertifikasi guru, guru yang telah tersertifikasi berada pada tingkatan pembelajaran yang mana?

Sumber:
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan;Dalam Upaya Meningkatkan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang

Pelatihan Profesi Guru

PELATIHAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU
A.Pelatihan untuk Perubahan
Kegiatan pelatihan bagi guru pada dasarnya merupakan suatu bagian yang integral dari manajemen dalam bidang ketenagaan di sekolah dan merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka dapat bekerja secara lebih produktif dan mampu meningkatkan kualitas kinerjanya. Alan Cowling & Phillips James (1996:110) memberikan rumusan pelatihan sebagai: “perkembangan sikap/pengetahuan/keterampilan pola kelakuan yang sistematis yang dituntut oleh seorang karyawan (baca : guru) untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan memadai”
Dengan meminjam pemikiran Sondang Siagian (1997:183-185) tentang manfaat dari penyelenggaraan program pelatihan, di bawah ini akan dikemukakan tentang manfaat penyelenggaraan program pelatihan, baik untuk sekolah maupun guru itu sendiri. Bagi sekolah setidaknya terdapat tujuh manfaat yang dapat dipetik, yaitu: (1) peningkatan produktivitas kerja sekolah sebagai keseluruhan; (2) terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan; (3) terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat; (4) meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam prganisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi; (5) mendorong sikap keterbukaan manajemen melalui penerapan gaya manajerial yang partisipatif; (6) memperlancar jalannya komunikasi yang efektif; dan (7) penyelesaian konflik secara fungsional. Sedangkan manfaat pelatihan bagi guru, diantaranya : (1) membantu para guru membuat keputusan dengan lebih baik; (2) meningkatkan kemampuan para guru menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya; (3) terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional; (4) timbulnya dorongan dalam diri guru untuk terus meningkatkan kemampuan kerjanya; (5) peningkatan kemampuan guru untuk mengatasi stress, frustasi dan konflik yang pada gilirannya memperbesar rasa percaya pada diri sendiri; (6) tersedianya informasi tentang berbagai program yang dapat dimanfaatkan oleh para guru dalam rangka pertumbuhan masing-masing secara teknikal dan intelektual; (7) meningkatkan kepuasan kerja; (8) semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang; (9) makin besarnya tekad guru untuk lebih mandiri; dan (10) mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di masa depan. Selanjutnya, pada bagian lain Alan Cowling & Phillips James (1996:110) mengemukakan pula tentang apa yang disebut learning orgazanizaton atau organisasi yang mau belajar. Dalam hal ini organisasi diperlakukan sebagai sistem (suatu konsep yang akrab disebut systems theory) yang perlu menanggapi lingkungannya agar tetap hidup dan makmur. Menurut pandangan ini, sebuah organisasi akan mengembangkan suatu kemampuan untuk menanggapi perubahan-perubahan di dalam lingkungannya, yang memastikan bahwa trasformasi internal terus-menerus terjadi. Dengan demikian, suatu organisasi atau sekolah yang mau belajar dapat dikatakan sebagai suatu organisasi yang memberikan kemudahan kepada anggotanya untuk melakukan proses belajar dan terus-menerus mengubah dirinya sendiri. Salah satu wujud sekolah sebagai learning organization adalah adanya kemauan belajar dari para guru untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya, dan salah satunya melalui kegiatan pelatihan. Dengan demikian, upaya belajar tidak hanya terjadi pada kalangan siswa semata.

B. Langkah-Langkah Pelatihan
Agar kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh suatu sekolah benar-benar dapat memberikan manfaat bagi kemajuan guru maupun bagi organisasi itu sendiri, maka perlu ditempuh beberapa langkah dalam suatu kegiatan pelatihan.
Alan Cowling & Phillips James (1996:110) mengemukakan tentang pendekatan yang sistematis dalam pelatihan meliputi empat tahap, yang mencakup :tahap I : mengenali kebutuhan-kebutuhaan, tahap II: merencanakan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan itu, tahap III: Pelaksanaan dan Tahap IV: evaluasi. Sementara itu, Sondang Siagian (1997:185-203) memaparkan tujuah langkah dalam kegiatan pelatihan, yaitu : (1) Penentuan kebutuhan; (2) Penentuan sasaran; Penetapan Program; (3) Identifikasi isi program; (4) Identifikasi prinsip-prinsip belajar; (5) Pelaksanaan program; (6) Identifikasi manfaat; dan (7) Penilaian pelaksanaan program. Dengan mengacu kepada kedua pemikiran di atas, berikut ini akan diuraikan tentang tahapan-tahapan dalam kegiatan pelatihan, yang mencakup: (1) penentuan kebutuhan; (2) penentuan sasaran; (3) penentuan program; (4) penerapan prinsip-prinsip belajar; dan (5) penilaian kegiatan
1. Penentuan Kebutuhan
Penentuan kebutuhan merupakan langkah awal yang amat penting untuk dilakukan . Oleh karena itu perlu dilakukan analisis kebutuhan secara cermat. Dengan melalui analisis kebutuhan yang cermat dapat diyakinkan bahwa kegiatan pelatihan memang benar-benar perlu dilakukan, jadi tidak hanya sekedar proyek yang sifatnya diada-adakan, tanpa hasil dan tujuan yang jelas. Dalam mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan, terdapat tiga pihak yang perlu dilibatkan, yaitu :

satuan organisasi (sekolah atau dinas pendidikan) yang mengelola sumber daya manusia yang bertugas mengidentifikasi kebutuhan organisasi secara keseluruhan, baik untuk kepentingan sekarang maupun dalam kerangka mempersiapkan organisasi menghadapi tantangan masa depan;
para kepala sekolah; karena bagaimanapun mereka merupakan orang-orang yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan satuan-satuan kerja yang dipimpinnya. Dengan demikian, mereka dianggap sebagai orang yang paling mengetahui jenis kebutuhan pelatihan yang diperlukan.
guru yang bersangkutan; banyak sekolah yang memberikan kesempatan kepada para gurunya untuk mencalonkan diri sendiri mengikuti program pelatihan tertentu. Titik tolak pemberian kesempatan ini ialah bahwa para guru yang sudah matang secara intelektual memiliki kecenderungan untuk menyadari kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam dirinya, sehingga membutuhkan adanya usaha pembelajaran.

Bagaimanapun kegiatan pelatihan merupakan beban anggaran tersendiri yang harus dipikul oleh sekolah. Oleh karena itu, jika kegiatan pelatihan dilakukan tanpa adanya analisis kebutuhan secara cermat, pada akhirnya dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi guru atau pun bagi sekolah. Dengan sendirinya, yang semula pelatihan dimaksudkan untuk kepentingan efektifvitas dan efisiensi, malah terbalik menjadi kegiatan yang hanya pemborosan saja.
2. Penentuan Sasaran
Berdasarkan analisis kebutuhan selanjutnya dapat ditetapkan berbagai sasaran yang ingin dicapai dari suatu kegiatan pelatihan, baik yang bersifat teknikal maupun behavioral. Bagi penyelenggara, penentuan sasaran ini memiliki arti penting sebagai: (1) tolok ukur kelak untuk menentukan berhasil tidaknya program pelatihan; (2) bahan dalam usaha menentukan langkah selanjutnya, seperti menentukan isi program dan metode pelatihan yang sesuai. Sedangkan bagi peserta penentuan sasaran bermanfaat dalam persiapan dan usaha apa yang seyogyanya mereka lakukan agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari kegiatan pelatihan yang diikutinya.
3. Penentuan Program
Setelah dilakukan analisis kebutuhan dan ditetapkan sasaran yang ingin dicapai, selanjutnya dapat ditetapkan program pelatihan. Dalam penentuan program terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan yakni berkenaan dengan jawaban dari beberapa pertanyaan- berikut: Kemampuan apa yang hendak dicapai ? Materi apa yang perlu disiapkan ? Kapan waktu yang terbaik untuk dilaksanakan pelatihan ? Dimana tempat yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan pelatihan ? Berapa biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pelatihan ? Siapa yang paling tepat untuk ditunjuk sebagai instruktur ? dan Bagaimana pelatihan itu sebaiknya dilaksanakan ?. Jawaban pertanyaan-pertanyan ini pada intinya merujuk kepada efektivias dan efisiensi kegiatan pelatihan yang akan dilaksanakan.
4. Penerapan Prinsip-Prinsip Belajar
Agar pelatihan ini dapat mencapai sasaran atau tujuan yang diharapkan, maka kegiatan pelatihan berlangsung seyogyanya dapat memperhatikan dan menerapkan sejumlah prinsip belajar. Dalam hal ini Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :

Agar-agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan.
Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan. Misalnya tidak hanya bertambah keterampilan pekerjaannya saja, tetapi juga memperoleh minat yang lebih besar dalam bidang yang ditekuninya.
Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain. Misalnya, disamping memperoleh keterampilan dari apa yang diberikan dalam pelatihan. Juga, seseorang memiliki tujuan lain, seperti promosi jabatan, kepercayaan dari atasan dan sebagainya.
Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.

5. Penilaian Pelaksanaan Program
Pelaksanaan suatu program dapat dikatakan berhasil jika dalam diri peserta tersebut terjadi suatu proses transformasi. Proses transformasi dapat dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi paling sedikit dua hal, yaitu :

peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas
perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, disiplin, dan etos kerja.

Untuk mengetahui terjadi tidaknya perubahan tersebut dilakukan penilaian, baik yang berkenaan dengan aspek teknis maupun behavioral. Dengan demikian, bahwa penilaian harus diselenggarakan secara sistematis, dengan-langkah sebagai berikut :

penentuan kriteria keberhasilan yang ditetapkan sebelum program pelatihan diselengggarakan
penyelenggaraan pre-test untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan para guru sekarang, guna memperoleh informasi tentang program pelatihan apa yang tepat diselenggarakan.
pelaksanaan ujian pasca pelatihan untuk melihat apakah memang terjadi transformasi yang diharapkan atau tidak dan apakah transformasi tersebut tercermin dalam pelaksanaan pekerjaan masing-masing guru.
tindak lanjut yang berkesinambungan. Salah satu ukuran tolok ukur penting dalam menilai berhasil tidaknya suatu program pelatihan ialah apabila transformasi yang diharapkan memang terjadi untuk kurun waktu yang cukup panjang di masa depan, tidak hanya segera setelah program tersebut selesai diselenggarakan

SUMBER BACAAN
Alan Cowling & Philip James. 1996. The Essence of Personnel Management an Industrial Relation (terjemahan). Yogyakarta : ANDI
Daeng Sudirwo.2002. Kurikulum Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung : Andira
Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono. 1990. Prinsip Dasar Manajemen (edisi 3). Yogyakarta : BPFE.
Robert Bacal .1999. Performance Management. (Alih Bahasa). Jakarta : PT. Gramedia.
Sondang P. Siagian .1991. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Winardi.2001. Motivasi & Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta : PT Radja Grafindo Pers.

Guru dan Siswa yang Terintimidasi


Guru dan Siswa yang Terintimidasi

Les Parsons dalam bukunya yang berjudul Bullied Teacher Bullied Student mengupas tentang perilaku intimidasi di sekolah, baik yang dilakukan oleh siswa, guru, maupun kepala sekolah. Dengan mengutip pemikiran Peter Randall, dikemukakannya bahwa yang dimaksud dengan perilaku intimidasi adalah perilaku agresif yang muncul dari suatu maksud yang disengaja untuk mengakibatkan tekanan kepada orang lain secara fisik dan psikologis. Perilaku yang agresif dan menyakitkan ini dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang. Disebutkan pula, bahwa kunci utama dari pengertian ini terletak pada penyalahgunaan secara sistematis dari ketidakseimbangan kekuatan.
Terdapat beberapa poin penting tentang permasalahan perilaku intimidasi di sekolah, diantaranya:

Di sekolah, intimidasi dapat terjadi dimana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pelaku intimidasi bisa siswa atau orang dewasa.
Pelaku intimidasi dapat beraksi sendirian atau bersama kaki tangan.
Sasaran intimidasi dapat merupakan seseorang atau sekelompok orang.
Intimidasi adalah perbuatan berulang seseorang atau sekelompok orang yang takut kepada si pelaku intimidasi Di sini tampak terdapat ketidakseimbangan kekuatan.
Pelaku intimidasi secara sengaja bermaksud menyakiti seseorang secara fisik, emosi atau sosial.
Pelaku intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan.
Pelaku intimidasi sering terorganisasi dan sistematis.
Pelaku intimidasi para saksi atau penonton yang tidak akan berbuat apa pun untuk menghentikan intimidasi itu atau malah mendukung perbuatan tersebut.
Intimidasi dapat berlangsung untuk waktu jangka pendek atau untuk waktu yang tidak terbatas.

Ilustrasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran tentang perilaku intimidasi yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan siswa, guru, kepala sekolah maupun orang tua :

Seorang siswa yang populer, menarik dan berprestasi, yang dipandang oleh orang dewasa sebagai sosok yang patut ditiru dan seorang pemimpin kelas, namun dibalik itu dia memiliki pengaruh sosial untuk mendominasi, mengendalikan dan secara selektif mengucilkan teman-temannya.
Seorang guru pekerja keras yang dimata orang tua dianggap sebagai seorang yang profesional dan mampu mengendalikan kelas dengan sempurna, serta memiliki standar-standar tinggi, tetapi secara berkala membuat siswa menangis karena kata-kata kasarnya, tindakan-tindakan yang mempermalukan dan ejekan-ejekannya.
Kepala sekolah yang dengan seksama dan sistematis melecehkan staf dan guru yang dianggap sebagai saingannya, sementara dihadapan atasannya ia terlihat berperilaku lembut dan penurut.
Orang tua agresif untuk menekan perilaku agesif anaknya di rumah, tetapi merespons luapan keagresifan terpendamnya di sekolah dengan menyalahkan pihak sekolah secara keji dan berang, secara terus menerus melecehkan sekolah atas setiap kecerobohan yang mereka lihat.

A. Siswa yang Mengintimidasi
Siswa yang melakukan intimidasi pada siswa lain terdorong oleh beberapa alasan:
1. Gangguan pengendalian diri;
Siswa seperti ini merasa berselisih dengan dunia yang serba bermusuhan. Mereka mengalami kegelisahan emosional, salah menafsirkan dan salah memahami segala bentuk interaksi dengan orang lain, dan tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan agresif yang muncul. Mereka sering melanggar peraturan, memulai tindakan agresif, merusak milik orang, menyalahkan orang lain, dan menunjukkan kurang pengertian atau simpati terhadap hak-hak dan perasaan orang lain.
2. Intimidasi yang dipelajari
Siswa dapat belajar mengintimidasi melalui berbagai cara, seperti: menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, mendapat imbalan atas tindakan agresif yang pernah dilakukannya, termasuk jika dia mendapatkan perlakuan agresif dari orang lain.
Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang tidak konsisten dan pemanjaan berlebihan yang dilakukan oleh orang tua memiliki korelasi dengan perilaku agresif anaknya.
3. Mengintimidasi untuk memperoleh sesuatu
Ketika sebagian besar anak melakukan intimidasi, mereka mempunyai tujuan yang jelas dalam benak mereka. Mereka sengaja menggunakan kekerasan untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dari orang lain—uang jajan, jawaban ketika mengahadapi ujian, atau hanya sekedar kesenangan untuk mendominasi, dan bahkan untuk memperkokoh status dan harga diri dalam hierarki sosial
Untuk menghadapi kasus-kasus di atas, para guru mestinya dapat melihatnya sebagai gejala dari suatu kelainan, bukanlah perbuatan atas kemauan sendiri. Dalam hal ini, bukan berarti guru membolehkan atau memaafkan perilaku agresif tersebut, tetapi guru harus mampu merencanakan pendekatan manajemen kelas yang tepat, bekerja sama dengan ahli atau nara sumber spesialis yang terlatih.
B. Guru yang Mengintimidasi
Guru pelaku intimidasi adalah guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menghukum, memanipulasi, atau mengolok-olok siswa, melampaui tindakan disipliner yang masuk akal.
Guru pelaku intimidasi kadang tidak mampu melihat dirinya yang sesungguhnya. Mereka mengartikan perlakuan agresifnya sebagai suatu tindakan yang tegas, perkataan mereka yang kasar dianggapnya sebagai ungkapan jujur, ketidakkonsistenan sebagai flesksibilitas, serta kekakuan dan obsesi mereka terhadap hal-hal remeh dianggap sebagai ketelitiannya. Pelaku-pelaku intimidasi semacam ini jarang mengakui kesalahan mereka dan menganggap kekeliruan adalah kesalahan orang lain. Mereka merasa penting, berkuasa, elite dan berhak. Menganggap orang lain iri, memanipulasi dan mengeksploitasi orang lain demi kepentingan mereka sendiri, dan tidak memiliki empati bagi target mereka. Mereka menjadi pribadi yang egois, tidak dapat diprediksi, kritis dan pemarah. Sebagai orang dewasa, guru pelaku intimidasi lihai dalam memilih sasaran, terutama ke samping, ke bawah, tetapi jarang mengintimidasi ke atas.
Perilaku guru mengintimidasi meliputi: (1) kekerasan verbal melalui penggunaan stereotip- stereotip dan penamaan yang bermuatan seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, ketidaksempurnaan fisik dan homofobik; (2) kekerasan fisik; seperti mengguncang, mendorong, mencubit, menjambak, menjewer, memukul dengan penggaris atau melemparkan sesuatu; (3) kekerasan psikologis; berteriak, berbicara dengan sarkasme, menyobek hasil herja, mengadu domba siswa, membuat ancaman-ancaman.; (4) kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme; penilaian yang tidak adil, menerapkan hukuman dengan pilih-pilih, menggunakan cara-cara pendisiplinan yang tidak pantas, mengarahkan pada kegagalan dengan menetapkan standar yang tidak wajar, membohongi rekan kerja, orang tua siswa, atasan mengenai perilaku siswa, mengambil kesempatan dengan menggunakan materi-materi atau pengayaan, mengintimidasi orang tua karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi.
C. Kepala Sekolah yang Mengintimidasi
Kepala sekolah memulai kariernya sebagai guru dan kemudian dipromosikan melalui jenjang karier. Perkembangan itu adalah sumber dari kekuatan terbesar mereka dan juga kelemahan terbesar mereka. Kapasitasnya sebagai manajer, kerapkali menjadikan guru, karyawan dan siswa sebagai sasaran kekerasan. Kepala sekolah yang suka mengintimidasi akan menghasilkan perilaku intimidasi pula pada guru, karyawan dan bahkan siswa. Kepala sekolah yang mengintimidasi sering mencoba meremehkan dan merusak hasil kerja guru yang paling berbakat dan kreatif, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap sekolah. secara keseluruhan Perilaku kepala sekolah yang mengintimidasi seringkali menjadi kontradiktif dan membingungkan. Mereka memandang bahwa diri mereka disalahmengertikan dan diganggu. Padahal, faktanya mereka adalah perusak dan disfungsional.
Setiap sekolah haruslah menjadi tempat dimana siswa dan seluruh komunitas merasa aman dan tentram secara fisik maupun emosional. Intimidasi dalam bentuk apa pun, baik yang dilakukan oleh siswa, guru atau kepala sekolah dapat menjadi ancaman dan menghalangi proses pembelajaran. Satu-satunya cara untuk secara tegas menghalau dan menjauhkan intimidasi adalah dengan memaksakan keadilan bagi semua. Hanya dengan itulah sekolah-sekolah akan menjadi lingkungan belajar yang positif, di mana proses pembelajaran dapat dimaksimalkan dan setiap siswa merasa dihargai
Sumber:
Les Parsons. 2009. Bullied Teacher Bullied Student (Guru dan Siswa yang Terintimidasi; Mengenali Budaya Kekerasan di sekolah Anda dan Mengatasinya) Terj.Grace Worang, dkk. Jakarta: Grasindo.
Diposkan oleh ZAKIR.T.M.HUBULO,S.Sos,M.Pd di 15:18

Hakikat Pendidikan

Hakikat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut William F (tanpa tahun) Pendidikan harus dilihat di dalam cakupan pengertian yang luas. Pendidikan juga bukan merupakan suatu proses yang netral sehingga terbebas dari nilai-nilai dan Ideologi.
Kosasih Djahiri (1980 : 3) mengatakan bahwa Pendidikan adalah merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).
Dari pengertian tersebut bahwa pendidikan merupakan upaya yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati, tidak memerlukan lagi suatu proses pendidikan.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan – kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.
Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya.
Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu :

Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.

Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan fleksibel, baik didalam pendidikan formal, non formal dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang berbudaya (educated and Civized human being).
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.
Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani yang diridhoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu masyarakat yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan demokratis pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan religius yang sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia dimuka bumi.
Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan sekurelistik baik didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum yang kering dari nilai-nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinekaan malahan mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan bangsa Indonesia.
Diambil dan Adaptasi dari:
Tata Abdulah. 2004. Landasan dan Prinsip Pendidikan Umum (Makalah). Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI Bandung

Contoh Tesis

KOMPETENSI MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah identik dengan suatu organisasi, dan organisasi tersebut akan berkembang dan mengalami kemajuan sangat ditentukan oleh manejernya. Kompetensi manejer di dalam memainkan peranan manajerialnya akan dapat mewujudkan suatu prestasi dan kalau organisasi tersebut bergerak di bidang bisnis, maka tentunya organisasi tersebut akan memperoleh keuntungan atau benefit yang luar biasa. Demikian pula halnya dengan sekolah, dan sekolah identik pula sebagai sebuah organisasi yang bergerak di dalam membentuk dan menghasilkan SDM. Kemajuan suatu sekolah tidak terlepas dari kompetensi yang dimainkan dan dimiliki oleh kepala sekolah. Semegah apapun dan secanggih apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah kalau tidak dimanage dan ditangani oleh kepala sekolah beserta dengan aparat birokrasi sekolah yang bersangkutan, maka itu akan sia-sia.
Oleh sebab itu, kemajuan dan perkembangan suatu sekolah sangat ditentukan atensi dan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah, sehingga kiprah kepala sekolah di dalam menjalankan visi,misi dan strategi sekolah dapat terwujud. Urgensinya dari persoalannya bahwa kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan, oleh sebab itu kepala sekolah adalah inovator. Kemasan cita-cita mulia pendidikan kita secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme dan kepercayaan orang tua menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada semua komponen persekolahan seperti guru, karyawan dan kepala sekolah. Karena orang tua masih banyak memiliki pandangan bahwa suatu sekolah yang sudah menjadi primadona disebabkan oleh popularitas suatu sekolah yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai, komponen birokrasi dan administrasi sekolah yang terbuka, harmonisasi dan interaksi antar semua komponen persekolah saling mendukung dan terbentuk suasana kondusif, di manapun lokasi sekolah yang bersangkutan akan tetap dicari. Apalagi masih melekat dari para orang tua yang sudah tertanam didirinya, bahwa bila anak pertamanya dididik di sekolah tertentu, maka untuk anak-anak berikutnya tetap menginginkan sekolah yang bersangkutan.
Hal ini tentunya atas pertimbangan yang sudah disebutkan di atas. Siswa dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah, oleh sebab itu seorang kepala sekolah mestilah seorang fasilitator. Sejumlah aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasikan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah.
Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan. Disamping itu, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan.
Manajemen pendidikan adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati. Secara operasional kepala sekolah memiliki standar kompetensi untuk menyusun perencanaan strategis, mengelola tenaga kependidikan, mengelola kesiswaan, mengelola fasilitas, mengelola sistem informasi manajemen, mengelola regulasi atau peraturan pendidikan, mengelola mutu pendidikan, mengelola kelembagaan, mengelola kekompakan kerja (teamwork), dan mengambil keputusan.
Agar tercapai tujuan pendidikan seperti yang disebutkan di atas, tentu diperlukan kepala sekolah yang mampu mengatasi dan mengelola berbagai permasalahan serta dapat memberikan peran optimal dalam mengambil langkah operasional untuk menuntaskan berbagai masalah menjadi peluang.
SMP Negeri I Bitung merupakan salah satu sekolah negeri yang berstandar . Dalam survey awal pada tanggal 12 April 2010 terhadap sekolah ini menunjukkan jumlah guru yang ada di SMP Negeri 1 Bitung adalah sebanyak 60 ( enam puluh ) orang, , dimana 8 orang atau 13,3 % berijazah Pascasarjana (S2), 46 orang atau 76,7 % berijazah Strata Satu (S1), 6 orang atau 10 % berijazah diploma (S0) dan dibantu oleh staf tata usaha 10 orang yang melayani 1.023 peserta didik yang tersebar pada 29 rombongan belajar. Dengan demikian rata-rata jumlah peserta didik setiap rombongan belajar adalah 35 orang. Data ketersedian prasarana menunjukkan bahwa jumlah ruang kelas terdapat 29 (dua sembilan) ruang, 1 ruang kantor, 1 ruang guru dan tata usaha, 19 komputer, 5 printer, 4 LCD, 2 TV beserta peralatannya dan 2 WC. Semua prasarana tersebut berdiri di atas lahan seluas 42.415 m².
Berdasarkan data awal yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa indikasi yang telah memenuhi persyaratan seperti yang telah diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tahun 2009 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah, namun masih ada juga kesenjangan antara kenyataan dengan apa yang diharapkan sebagai sekolah. Misalnya, masih kurangnya sosialisasi dari kepala sekolah mengenai rintisan sekolah berstandar internasional (SBI) sehingga masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa sekolah tersebut gratis, kurangnya para guru dalam mengikuti pendidikan dan pelatihan ( diklat ) yang berhubungan dengan peningkatan kompetensi guru. Namun dari berbagai kelemahan tersebut di atas, SMP Negeri 1 Bitung mempunyai beberapa keunggulan seperti perolehan nilai UAN di atas standar yang ditentukan, lulusannya langsung diterima di SMA Lokon, untuk kelas Program RSBI diwajibkan berbahasa Inggris untuk tiga mata pelajaran yaitu IPA, Matematika dan Bahasa Inggris, untuk program regular sekitar 40 % mampu berbahasa Inggris serta unggul dalam berbagai kegiatan lomba yang diadakan baik di Kota Bitung maupun di luar kota Bitung.
Dengan demikian menarik sekali untuk diteliti mengenai kompetensi manajerial yang bagaimana yang diterapkan oleh kepala SMP Negeri 1 Bitung dalam melaksanakan program-programnya sehingga dapat mencapai keberhasilan. Atas dasar pemikiran di atas maka peneliti memilih judul “Kompetensi Manajerial Kepala Sekolah”( Studi Kasus Pada SMP Negeri 1 Bitung ).

B. Fokus Penelitian
Dari beberapa yang menjadi permasalahan sebagaimana latar belakang di atas, serta mengingat cakupan kompetensi kepala sekolah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 sangat luas maka penelitian ini difokuskan pada Kompetensi Manajerial Kepala Sekolah ( Studi Kasus Pada SMP Negeri 1 Bitung.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian di atas maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung ?
2. Faktor-faktor internal apa yang mempengaruhi kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung ?
3. Faktor-faktor eksternal apa yang mempengaruhi kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung ?


D. Tujuan Penelitian
Memperhatikan fokus penelitian dan rumusan masalah tersebut maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran empirik tentang kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung, sedangkan secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan bagaimana kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung.
2. Mendeskripsikan faktor-faktor internal apa yang mempengaruhi kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung.
3. Mendeskripsikan faktor-faktor eksternal apa yang mempengaruhi kompetensi manajerial kepala sekolah SMP Negeri 1 Bitung.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik bagi pihak peneliti maupun bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan (secara akademik). Secara lebih rinci manfaat penelitian ini sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretik
a. Dapat menambah wawasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya khasanah kajian ilmu manajemen pendidikan dalam mengelola manajemen sumber daya manusia yang berhubungan dengan kompetensi manajerial kepala sekolah.
b. Menjadi bahan masukan untuk kepentingan pengembangan ilmu bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk penelitian lebih lanjut terhadap objek sejenis atau aspek lainya yang belum tercakup dalam penelitian ini.
c. Sebagai sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan konsep dan teori yang berhubungan dengan kompetensi manajerial dalam kaitannya dengan peningkatan kinerja kepala sekolah.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi bagi kepala sekolah dan guru agar meningkatkan kualifikasinya sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme.
b. Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, dalam menilai dan mengevaluasi kinerja kepala sekolah dari segi karakteristik kompetensi manajerial.
Populasi dan Sampel

POPULASI DAN SAMPEL
Pengertian Populasi dan Sampel

Kata populasi (population/universe) dalam statistika merujuk pada sekumpulan individu dengan karakteristik khas yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian (pengamatan). Sementara sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya.
Banyaknya pengamatan atau anggota suatu populasi disebut ukuran populasi.
Ukuran populasi ada dua: (1) populasi terhingga (finite population), yaitu ukuran populasi yang berapa pun besarnya tetapi masih bisa dihitung (cauntable). Misalnya populasi pegawai suatu perusahaan; (2) populasi tak terhingga (infinite population), yaitu ukuran populasi yang sudah sedemikian besarnya sehingga sudah tidak bisa dihitung (uncountable). Misalnya populasi tanaman anggrek di dunia.

Gambar 1
POPULASI dan SAMPEL
Populasi dan sampel
Teknik Penarikan Sampel (Sampling)

Sampling is the process of selecting observations. Proses seleksi yang dimaksud di sini adalah proses untuk mendapatkan sampel.

Gambar 2
LOGIKA Sampling
sampling

Masalah yang dihadapi dalam sampling adalah (1) bagaimana proses pengambilan sampel, dan (2) berapa banyak unit analisis yang akan diambil.

Tipe Sampling
Gambar 3
Tipe Sampling
sda

Simple random sampling adalah sebuah proses sampling yang dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap satuan sampling yang ada dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih ke dalam sampel.
Systematic sampling merupakan pengambilan setiap unsur ke k dalam populasi, untuk dijadikan sampel. Pengambilan sampel secara acak hanya dilakukan pada pengambilan awal saja, sementara pengambilan kedua dan seterusnya ditentukan secara sistematis, yaitu menggunakan interval tertentu sebesar k.
Stratified sampling adalah penarikan sampel berstrata yang dilakukan dengan mengambil sampel acak sederhana dari setiap strata populasi yang sudah ditentukan lebih dulu.

Gambar 3
Tipe Stratified Sampling
strata

Cluster sampling adalah
Convenience sampling, sampel diambil berdasarkan faktor spontanitas, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka orang tersebut dapat dijadikan sampel.
Judgement sampling (purposive sampling) adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan karakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian.Bedanya, jika dalam sampling stratifikasi penarikan sampel dari setiap subpopulasi dilakukan dengan acak, maka dalam sampling kuota, ukuran serta sampel pada setiap sub-subpopulasi ditentukan sendiri oleh peneliti sampai jumlah tertentu tanpa acak.
Snowball Sampling merupakan salah satu bentuk judgement sampling yang sangat tepat digunakan bila populasinya kecil dan spesifik. Cara pengambilan sampel dengan teknik ini dilakukan secara berantai, makin lama sampel menjadi semakin besar, seperti bola salju yang menuruni lereng gunung.

Kriteria Sampling
Kriteria yang harus diperhatikan untuk menentukan tipe sampling yang baik, diantaranya:
(1) dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi,
(2) dapat menentukan presisi dari hasil penelitian,
(3) sederhana, mudah dilaksanakan, dan
(4) dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin tentang populasi dengan biaya minimal.


Prinsip Menentukan Ukuran Sampel (sample size)
Ukuran sampel bisa ditentukan melalui dua dasar pemikiran, yaitu ditentukan atas dasar pemikiran statistis, dan atau ditentukan atas dasar pemikiran non statistis. Ditinjau dari aspek statistis, ukuran sampel ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) bentuk parameter yang menjadi tolak ukur analisis, dalam arti apakah tujuan penelitian ini untuk menaksir rata-rata, persentase, atau menguji kebermaknaan hipotesis, (2) tipe sampling, apakah simple random sampling, stratified random sampling atau yang lainnya. Tipe sampling ini berkaitan dengan penentuan rumus-rumus yang harus dipakai untuk memperoleh ukuran sampel, dan (3) variabilitas variabel yang diteliti (keseragaman variabel yang diteliti), makin tidak seragam atau heterogen variabel yang diteliti, makin besar ukuran sampel minimal. Sedangkan dipandang dari sudut nonstatistis, ukuran sampel ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) kendala waktu atau time constraint, (2) biaya, dan (3) ketersediaan satuan sampling.
Populasi Sasaran dan Populasi Studi
Gambar 4
Populasi Sasaran dan Populasi Studi
sasaran
Satuan Sampling dan Kerangka Sampling

Satuan sampling adalah segala sesuatu yang dijadikan satuan (unit) yang nantinya akan menjadi objek penelitian. Contoh: (1) apabila Indonesia dibagi ke dalam 33 satuan yang disebut propinsi dan dalam penelitian provinsi ini yang akan dipilih sebagai sampel, maka provinsi menjadi satuan sampling. (2) Apabila sebuah perusahan dibagi ke dalam departemen atau bagian, dan dalam departemen atau bagian ini sampel akan dipilih sebagai objek penelitian, maka departemen atau bagian ini adalah satuan sampling.
Kerangka sampling adalah daftar yang berisi satuan-satuan sampling yang ada dalam sebuah populasi, yang berfungsi sebagai dasar untuk penarikan sampel. Setiap satuan sampling mempunyai nomor urut tertentu. Contoh: Kota Bandung terdiri dari kecamatan-kecamatan. Kalau peneliti menjadikan kecamatan dimana sampel akan dipilih sebagai objek, maka kecamatan adalah satuan sampling. Nama-nama kecamatan yang ada di Kota Bandung kemudian didaftar, maka daftar nama-nama kecamatan di Kota Bandung ini yang dinamakan kerangka sampling. Bentuk kerangka samplingnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Gambar 5
Kerangka Sampling
kerangka
Presisi dan Akurasi

Presisi (precision) diartikan sebagai ukuran seberapa jauh sesuatu alat akan memberikan hasil yang konsisten. Presisi erat kaitannya dengan variasi data.
Akurasi adalah seberapa tepat alat mengukur apa yang seharusnya diukur. Jadi akurasi berbicara tentang jarak, yang diukur dari target. Dengan demikian akurasi menunjukkan ketepatan atau ketelitian menentukan sampel dalam menggambarkan karakteristik populasi.

Gambar 6
Presisi dan Akurasi

Sampel dikatakan memiliki akurasi tinggi apabila kesimpulan yang diambil dari sampel dapat menggambarkan karakteristik dari populasi dan sebaliknya dikatakan akurasinya rendah apabila karakteristik populasi tidak sepenuhnya dapat digambarkan (menyimpang/bias) oleh kesimpulan yang diambil dari sampel.

Tingkat Kepercayaan dan Tingkat Signifikansi

Proses inferensi dalam metode statistika adalah proses membuat induksi atau melakukan generalisasi tentang karakteristik populasi berdasarkan karakteristik sampel. Proses inferensi mengandung dua hal, yaitu membuat estimasi nilai parameter dan menguji hipotesis.
Karena membuat estimasi dan/atau menguji hipotesis hanya berdasarkan pada informasi data sampel, sedang sifat sampel bagaimanapun juga tidak akan persis sama dengan populasi, maka diperlukan kriteria atau standar tertentu untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam membuat estimasi maupun dalam menguji hipotesis. Kriteria tersebut dalam statistika disebut sebagai tingkat kepercayaan (confidence level) dan tingkat signifikansi(significance level).
Tingkat kepercayaan atau tingkat keyakinan pada dasarnya menunjukkan tingkat keterpercayaan sejauhmana statistik sampel dapat mengestimasi dengan benar parameter populasi dan/atau sejauhmana pengambilan keputusan mengenai hasil uji hipotesis nol diyakini kebenarannya.
Dalam statistika, tingkat kepercayaan nilainya berkisar antara 0 sampai 100%. Secara konvensional, para peneliti dalam ilmu-ilmu sosial sering menetapkan tingkat kepercayaan berkisar antara 95 – 99%. Jika dikatakan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%, ini berarti tingkat kepastian statistik sampel mengestimasi dengan benar parameter populasi adalah 95%, atau tingkat keyakinan untuk menolak atau mendukung hipotesis nol dengan benar adalah 95%.
Tingkat signifikansi (a) menunjukkan probabilitas atau peluang kesalahan yang ditetapkan peneliti dalam mengambil keputusan untuk menolak atau mendukung hipotesis nol. Seperti halnya tingkat kepercayaan, tingkat signifikansi juga dinyatakan dalam persen. Misalnya, ditetapkan tingkat signifikansi 0,05 atau 0,10. Artinya, keputusan peneliti untuk menolak atau mendukung hipotesis nol memiliki probabilitas kesalahan sebesar 5% atau 10%. Dalam beberapa program statistik berbasis komputer seperti SPSS, tingkat signifikansi selalu disertakan dan ditulis sebagaiSig. (= significance), atau dalam program komputer lainnya ditulis p-value. Nilai Sig. atau p-value adalah nilai probabilitas kesalahan yang dihitung atau menunjukkan tingkat probabilitas kesalahan yang sebenarnya. Tingkat kesalahan ini digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam pengujian hipotesis.


CONTOH PENENTUAN SAMPEL:
RINCIAN ANGGOTA POPULASI GURU SMP NEGERI
DI KOTA BITUNG
No

Nama Sekolah

Populasi Guru
1.

SM P Negeri 1 Girian

45
2.

SMP Negeri 2 Madidir

49
3.

SMP Negeri 3

12
4.

SMP Negeri 4

19
5.

SMP Negeri 5

21
6.

SMP Negeri 6 Sagerat

29
7.

SMP Negeri 7

19
8.

SMP Negeri 11

15
9.

SMP Negeri 12 Wangurer

17
Jumlah

226
Cara Penarikan Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik pengambilan sampel berstrata atau proportional stratified random sampling (Sugiyono, 2009:64) tehnik random berstrata proporsional dalam pengajakan sampling adalah cara pengambilan sampel dari anggota populasi yang tidak sejenis (heterogen) yang dilakukan secara ajak berstrata (Riduan,2007:58).
Menurut Riduan (2007:67) bahwa sebelum menggunakan rumus alokasi proporsional harus terlebih dahulu menggunakan rumus populasi untuk penenutan sampel menurut masing-masing strata. Dalam penelitian ini menggunakan tingkat presisi 5%. Dengan rumus Taro Yamane sebagai beikut :
N
n =
N.d² + 1

Dimana :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi
d² = Presesi yang ditetapkan

Diketahui jumlah anggota populasi guru SMP Negeri di Kota Bitung sebanyak 226 orang dengan tingkat prepesisi yang ditetapkan 5 %. Berdasarkan rumus tersebut di atas dapat diperoleh jumlah sampel adalah sebagai berikut :
N
n =
N.d² + 1

226
=
226(0,05)² + 1

= 144.41

= 144


Jumlah Anggota Sampel
No

Nama Sekolah

Populasi Guru

Sampel Guru
1.

SMPN 1 Girian

45 orang

23 orang
2.

SMPN 2 Madidir

49 orang

25 orang
3.

SMPN 3

12 orang

6 orang
4.

SMPN 4

19 orang

9 orang
5.

SMPN 5

21 orang

10 orang
6.

SMPN 6 Sagerat

29 orang

15 orang
7.

SMPN 7

19 orang

9 orang
8.

SMPN 11

15 orang

8 orang
9.

SMPN 12 Wangurer

17 orang

9 orang
Jumlah

226 orang

144 orang


Diposkan oleh ZAKIR.T.M.HUBULO,S.Sos,M.Pd di 14:14

Hakikat Teori

HAKIKAT TEORI
Secara umum teori diartikan sebagai pendapat. Sedangkan dalam pengertian khusus, teori hanya digunakan dalam lingkungan ilmu atau biasa disebut teori ilmiah. Dalam pengertian khusus ini, Kerlinger (1973:9) menyatakan bahwa :
“ A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaning and predicting the phenomena.”
Di dalam definisi ini terkandung tiga konsep penting. Pertama, suatu teori adalah satu set proposisi yang terdiri atas konsep-konsep yang berhubungan. Kedua, teori memperlihatkan hubungan antarvariabel atau antar konsep yang menyajikan suatu pandangan yang sistematik tentang fenomena. Ketiga, teori haruslah menjelaskan variabelnya dan bagaimana variabel itu berhubungan.
Dengan demikian, teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natura yang ingin diteliti dan juga merupakan alat dari ilmu (tool of science). Di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong teori. Sebagai alat dari ilmu, teori mempunyai peranan sebagai : (a) teori sebagai orientasi utama dari ilmu, (b) teori sebagai konseptualisasi dan klasifikasi, (c) teori meringkas fakta, (d) teori memprediksi fakta-fakta, dan (e) teori memperjelas celah kosong. Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris yang berpencar. Makin banyak penelitian yang dituntun oleh teori, maka makin banyak pula kontribusi penelitian yang secara langsung dapat mengembangkan ilmu pengetahuan (disarikan dari Moh. Nazir, 1983:22-25)
Secara ringkas, Ismaun (2001:32) mengemukakan bahwa teori adalah pernyataan yang berisi kesimpulan tentang adanya keteraturan subtantif. Menemukan keteraturan itulah tugas ilmuwan, dan dengan kemampuan kreatif rekayasanya, ilmuwan dapat membangun keteraturan rekayasa. Keteraturan rekayasa ini dapat dibedakan dalam tiga keteraturan, yaitu : (1) keteraturan alam, (2) keteraturan kehidupan sosial manusia dan (3) keteraturan rekayasa teknologi.
Dari sini timbul pertanyaan bagaimana implikasi dan implementasi teori terhadap ketiga hukum keteraturan tersebut ?
Alam semesta ini memiliki keteraturan yang determinate. Ilmu-ilmu kealaman biasa disebut hard science, karena segala proses alam yang berupa anorganik sampai organik dan hubungan satu dengan lainnya dapat dieksplanasikan dan diprediksikan relatif tepat.
Memang, hingga sejauh ini kemampuan manusia dalam membangun berbagai teori tentang kealaman (natura), baik yang organik maupun anorganik, sudah begitu maju dan canggih. Dengan kemajuan teori ini, manusia mampu memperlakukan alam sedemikian rupa, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan kemajuan peradaban manusia itu sendiri. Namun di sisi lain, kadang kala manusia menjadi kebabalasan dalam memperlakukan alam serta mengekploitasinya diluar batas kendali. Tak heran, akibatnya alam pun menjadi marah dan tidak ramah lagi. Contoh, kasus penebangan pohon dan penggundulan hutan secara membabi-buta, serta menghilangkan daerah-daerah resapan air yang berubah menjadi “hutan beton” telah menimbulkan terjadinya banjir di mana-mana. Begitu juga, kasus pemanasan global dan rusaknya lapisan ozon merupakan cerminan dari ketidakarifan manusia dengan ilmu dan teori yang dimilikinya dalam memperlakukan alam.
Dengan demikian, kiranya dibutuhkan kesadaran moral dan kearifan yang tinggi manakala manusia hendak mengembangkan dan memanfaatkan teori-teori tentang kealaman. Sehingga pada akhirnya segala teori yang ditemukan benar-benar dapat menjadikan berkah bagi kehidupan manusia dan tidak sebaliknya.
Hidup manusia memiliki keragaman yang sangat luas. Faktor dan variabel yang berperan dalam kehidupan manusia pun sangat banyak dan kita tidak selalu dapat memprediksikannya selalu linier. Oleh karena itu, ilmu tentang kehidupan manusia ini termasuk soft science yang bersifat indeterminate.
Meski kemajuannya tidak sehebat ilmu dan teori dalam bidang keteraturan alam (hard science), ternyata ilmu tentang kehidupan manusia pun atau soft science mengalami perkembangan yang signifikan. Perubahan dan kemajuan ilmu tentang kehidupan manusia atau soft science ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari akibat kemajuan kedua hukum keteraturan lainnya.
Sebagai contoh, ketika manusia mampu menciptakan teknologi komputer atau transportasi, maka secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola hidup manusia itu sendiri, baik dalam hal ekonomi, sosial, politik, atau pun dalam perilaku sehari-hari. Pada gilirannya hal ini mendorong pula untuk berkembangnya ilmu dan teori tentang kehidupan manusia, seperti teori ekonomi, pendidikan, sosial dan sebagainya.
Yang menjadi persoalan ketika perkembangan ilmu dan teori tentang kehidupan manusia atau soft science ini tidak disertai dengan etik dan moral, maka yang terjadi justru kemunduran dan proses dehumanisasi yang menghilangkan fitrah kemanusiaan. Contoh kasus seperti terjadi di Indonesia, bahwa sejalan dengan perkembangan teori moneter yang berorientasi global seperti sekarang ini, di mana uang pun dapat dijadikan sebagai komoditi. Maka yang terjadi, banyak orang beramai-ramai untuk menjadi spekulan mata-uang, dengan cara memborong Dollar. Akibatnya mata-uang rupiah menjadi tidak stabil dan sistem perekonomian pun menjadi gonjang-ganjing.
Keteraturan alam yang determinate, dapat dibedakan menjadi dua; yakni keteraturan substantif dan keteraturan esensial. Pohon mangga Arumanis akan berbuah mangga Arumanis. Ketika ilmuwan berupaya menemukan esensi pohon mangga yang tahan hama penyakit, ilmuwan berupaya membuat rekayasa agar dapat diciptakan pohon mangga baru manalagi yang enak buahnya, banyak buahnya, dan pohonnya tahan hama penyakit, di sini nampak bahwa ilmuwan mencoba menemukan keteraturan esensial pada benda organik. Produk teknologi merupakan produk kombinasi antara pemahaman ilmuwan tentang keteraturan esensial yang determinate dengan upaya rekayasa kreatif manusia mengikuti hukum keteraturan alam.
Yang menjadi persoalan dari kemajuan rekayasa teknologi adalah ketika ilmuwan telah berhasil mengembangkan teknologi cloning pada kambing dengan maksud untuk mendapatkan jenis varietas unggul yang persis sama dengan “induknya”. Bagaimana kalau diujicobakan pada pada manusia ? Seandainya ini terjadi, maka penduduk dunia ini akan di isi dengan manusia-manusia yang sejenis dan banyak kemiripan, akan didapatkan ribuan duplikat Einstein yang sangat genius atau bahkan ribuan duplikat Fira’un yang sangat zalim. Jelas, semua ini mengingkari fitrah manusia dan tidak boleh terjadi dan seharusnya rekayasa teknologi tidak dimaksudkan ke arah itu.
Daftar Pustaka
Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu Mutiara-Mutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung :PPS-IKIP Bandung.
Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah.
Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung.
Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm.
Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

KTI

Karya Tulis Ilmiah Guru
Berdasarkan Keputusan Menpan No.84 Tahun 1993, Guru Pegawai Negeri Sipil dapat berkarier, mulai dari sebagai Pratama (Golongan II a) sampai dengan Guru Utama (Golongan IV.e). Dengan melaksanakan dua unsur kegiatan utama yaitu : (1) kegiatan utama, yang terdiri dari (a) pendidikan, (b) Proses Belajar Mengajar, dan (c) pengembangan profesi; dan (2) kegiatan penunjang, berupa pengabdian masyarakat. Kegiatan utama dilaksanakan sekurang-kurangnya 80 % dan kegiatan penunjang maksimal 20 %.
Jika seorang guru hanya melaksanakan unsur kegiatan pendidikan, proses belajar mengajar dan pengabdian masyarakat, maka sampai dengan jabatan Guru Pembina (Gol, IV. a) , secara teoritik tidak akan banyak kesulitan untuk memperoleh kumulatif angka kredit yang disyaratkan.
Akan tetapi untuk bisa naik menjadi Guru Pembina Tingkat I (Gol IV.b) dan jenjang jabatan selanjutnya, disamping harus memenuhi jumlah angka kredit yang dipersyaratkan, juga diwajibkan untuk melaknakan kegiatan pengembangan profesi minimal 12 angka kredit , terutama diperoleh melalui kegiatan penulisan karya tulis ilmiah. Disinilah tampaknya mulai dirasakan adanya kesulitan tersendiri, karena tidak semua guru mampu dan dengan mudah memenuhinya.
Berdasarkan sumber yang dapat dipercaya, menunjukkan bahwa dari sebanyak 700 guru yang mengusulkan kenaikan pangkat ke IV. b ke atas, hanya 22 % saja yang berhasil lolos.
Rendahnya tingkat keberhasilan guru dalam proses kenaikan pangkat tersebut disebabkan oleh faktor kelemahan guru dalam penyusunan karya tulis, yang tidak memenuhi persyaratan minimal sebagai karya ilmiah.
Tautan di bawah ini berisi rambu-rambu penulisan karya tulis guru, mudah-mudahan dapat membantu para guru dalam membuat karya tulis ilimiah, sehingga ke depannya tidak lagi banyak karya tulis yang harus tertolak.
Rambu-Rambu Penulisan Karya Ilmiah Guru Klik Disini!

PTK 2

Oleh: Drs. Tatang Sunendar, M.Si.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat
A. Latar Belakang
Penelitian Tindakan Kelas (Part II)Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti.
B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?
Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru :

PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.

C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.
PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.
Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988).
Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa.
Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.
D. Jenis dan Model PTK
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.

Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian.
Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.
E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.

PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.

F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.

Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.

SIKLUS PELAKSANAAN PTK
siklus-ptk.jpg
Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot
G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:

Identifikasi masalah
Analisis masalah
Rumusan masalah
Rumusan hipotesis tindakan

Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini.

Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran?
Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya?
Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut?
Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi?
Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?

Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain.
Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat.

Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan.
Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya :( a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya : (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris
Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator.

Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral.
Kapan siklus-siklus tersebut berakhir? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.